Yuk, Pahami Ciri-ciri Fintech dan Investasi Ilegal
Utama

Yuk, Pahami Ciri-ciri Fintech dan Investasi Ilegal

Kemudahan teknologi dimanfaatkan pelaku membuat aplikasi dengan mudah, meski berkali-kali diblokir.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit

“Konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di lembaga jasa keuangan antara lain nasabah pada perbankan, pemodal di pasar modal, pemegang polis pada perasuransian, dan peserta pada dana pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan,” jelas Sarjito mengutip UU OJK, Selasa (12/4).

Sementara itu, Dewan Komisioner Bidang Perlindungan Konsumen OJK Tirta Segara menyampaikan pihaknya telah menutup 1.200 fintech dan 390 kegiatan investasi ilegal sepanjang 2020. Dia menyampaikan masyarakat mudah tergiur dengan kemudahan dan imbal hasil tinggi dari fintech dan investasi ilegal. Padahal, risiko kerugian masyarakat sangat tinggi sehingga dia mengimbau agar masyarakat tidak bertransaksi dengan fintech dan investasi ilegal.

Tirta menyampaikan rendahnya literasi keuangan menjadi salah satu faktor masih banyak masyarakat bertransaksi dengan fintech dan investasi ilegal. Kemudian, dia juga mengatakan kemajuan teknologi membuat pelaku fintech dan investasi ilegal sulit ditindak karena dapat beroperasi tanpa temu fisik dan lokasi kantor yang tidak jelas.

“Perkembangan teknologi informasi mendorong praktik fintech dan investasi ilegal. Dengan teknologi membuat ilustrasi dengan menampilkan tokoh-tokoh dan influencer jadi lebih murah. Mereka juga tidak punya kantor fisik, yang abal-abal kami temukan mereka hanya punya satu ruko tapi layanannya sangat luas seluruh Indonesia. Mereka lintas batas crossborder, ada juga yang di luar NKRI. Sehingga, sulit ambil tindakan hukum,” jelas Tirta.

Untuk itu, dia meminta masyarakat bijak dalam memanfaatkan layanan jasa keuangan. Masyarakat juga diimbau mencari tahu legalitas dari perusahaan fintech dan investasi sebelum bertransaksi. Tirta menyampaikan pihaknya berupaya menyosialisasikan mengenai produk-produk jasa keuangan beserta risikonya kepada masyarakat agar memiliki pemahaman yang memadai.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Sunu Widyatmoko  menyampaikan pemerintah perlu mengesahkan UU Perlindungan Data Pribadi (PDP). Menurutnya, UU PDP memberi kepastian hukum sekaligus perlindungan masyarakat terhadap fintech ilegal.

“Kita mendorong disahkannya UU perlindungan data pribadi karena ini sangat penting sebagai dasar hukum dalam mengakses dan melindungi data pribadi. Bagaimana data pribadi ini dikelola dan dilindungi,” kata Sunu.

AFPI mencatat pertumbuhan fintech lending mencapai 25 persen saat pandemi Covid-19. Fintech lending telah melayani total pinjaman Rp156 triliun, melayani 43,5 juta pengguna dan juga 716 ribu lender.

Tags:

Berita Terkait