Yuk, Pahami Ciri-ciri Fintech dan Investasi Ilegal
Utama

Yuk, Pahami Ciri-ciri Fintech dan Investasi Ilegal

Kemudahan teknologi dimanfaatkan pelaku membuat aplikasi dengan mudah, meski berkali-kali diblokir.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Kebutuhan dana masyarakat saat Ramadhan serta tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19 cenderung meningkat. Memenuhi kebutuhan dana tersebut, terdapat kelompok masyarakat menggunakan layanan financial technology (fintech) dan memanfaatkan produk investasi. Masyarakat perlu memahami berbagai risiko meminjam dana fintech dan berinvestasi. Hal ini karena menjamurnya layanan fintech dan investasi ilegal yang merugikan masyarakat.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjelaskan ciri-ciri fintech dan investasi ilegal agar masyarakat terhindar dari jeratan tersebut. Pada fintech ilegal, penyelenggara fintech tidak berizin atau terdaftar di OJK. Aplikasi biasanya tidak tersedia pada Google PlayStore atau Apple AppStore. Tautan untuk mengunduh aplikasi dikirim melalui SMS atau dicantumkan pada situs pelaku.

Kemudian, fintech ilegal menjanjikan persyaratan pinjaman yang sangat mudah. Kontak dan lokasi penyelenggara fintech tidak jelas dan sering berganti nama. Aplikasi fintech ilegal juga sering berganti nama tanpa pemberitahuan kepada peminjam. Aplikasi tidak bisa dibuka pada saat jatuh tempo pengembalian pinjaman. Aplikasi membaca kontak dan galeri foto pada gawai peminjam. Tidak diketahui identitas pengembang aplikasinya dan tidak jelas lokasi server aplikasinya.

Sedangkan, investasi ilegal dapat dikenali dengan ciri-ciri menjanjikan keuntungan tidak wajar dalam waktu cepat. Menjanjikan bonus dari perekrutan anggota baru atau “member get member”. Memanfaatkan tokoh masyarakat, agama dan publik untuk menarik minat masyarakat. Investasi ilegal juga menyatakan bebas risiko (risk free).  Lalu, investasi ilegal dikenali dengan tak perlu usaha untuk mendapatkan imbalan atau cukup klik dapat uang.

Dari sisi perizinan, legalitas izin investasi ilegal dipertanyakan karena tidak memiliki izin. Kemudian, investasi ilegal yang memiliki izin kelembagaan tapi tidak punya izin usaha. Izin kelembagaan dan usaha investasi ilegal tidak sesuai dengan izin usaha yang dimiliki. (Baca: Dua RUU Ini Mendesak Disahkan Demi Keamanan Konsumen)

Deputi Komisioner Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK, Sarjito menyampaikan pihaknya melalui Satgas Waspada Investasi terus menutup layanan fintech dan investasi ilegal yang bermunculan. Kemudahan teknologi dimanfaatkan pelaku membuat aplikasi dengan mudah, meski berkali-kali diblokir. Khusus investasi ilegal, OJK mencatat kerugian masyarakat mencapai Rp 114.9 triliun sepanjang 2011-2020.

Sarjito mengimbau agar masyarakat menggunakan fintech dan investasi yang berizin dan terdaftar di OJK. Dia menjelaskan masyarakat yang menjadi korban fintech dan investasi ilegal tidak termasuk konsumen yang didefenisikan dalam Undang Undang 21 Tahun 2011 tentang OJK.

“Konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di lembaga jasa keuangan antara lain nasabah pada perbankan, pemodal di pasar modal, pemegang polis pada perasuransian, dan peserta pada dana pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan,” jelas Sarjito mengutip UU OJK, Selasa (12/4).

Sementara itu, Dewan Komisioner Bidang Perlindungan Konsumen OJK Tirta Segara menyampaikan pihaknya telah menutup 1.200 fintech dan 390 kegiatan investasi ilegal sepanjang 2020. Dia menyampaikan masyarakat mudah tergiur dengan kemudahan dan imbal hasil tinggi dari fintech dan investasi ilegal. Padahal, risiko kerugian masyarakat sangat tinggi sehingga dia mengimbau agar masyarakat tidak bertransaksi dengan fintech dan investasi ilegal.

Tirta menyampaikan rendahnya literasi keuangan menjadi salah satu faktor masih banyak masyarakat bertransaksi dengan fintech dan investasi ilegal. Kemudian, dia juga mengatakan kemajuan teknologi membuat pelaku fintech dan investasi ilegal sulit ditindak karena dapat beroperasi tanpa temu fisik dan lokasi kantor yang tidak jelas.

“Perkembangan teknologi informasi mendorong praktik fintech dan investasi ilegal. Dengan teknologi membuat ilustrasi dengan menampilkan tokoh-tokoh dan influencer jadi lebih murah. Mereka juga tidak punya kantor fisik, yang abal-abal kami temukan mereka hanya punya satu ruko tapi layanannya sangat luas seluruh Indonesia. Mereka lintas batas crossborder, ada juga yang di luar NKRI. Sehingga, sulit ambil tindakan hukum,” jelas Tirta.

Untuk itu, dia meminta masyarakat bijak dalam memanfaatkan layanan jasa keuangan. Masyarakat juga diimbau mencari tahu legalitas dari perusahaan fintech dan investasi sebelum bertransaksi. Tirta menyampaikan pihaknya berupaya menyosialisasikan mengenai produk-produk jasa keuangan beserta risikonya kepada masyarakat agar memiliki pemahaman yang memadai.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Sunu Widyatmoko  menyampaikan pemerintah perlu mengesahkan UU Perlindungan Data Pribadi (PDP). Menurutnya, UU PDP memberi kepastian hukum sekaligus perlindungan masyarakat terhadap fintech ilegal.

“Kita mendorong disahkannya UU perlindungan data pribadi karena ini sangat penting sebagai dasar hukum dalam mengakses dan melindungi data pribadi. Bagaimana data pribadi ini dikelola dan dilindungi,” kata Sunu.

AFPI mencatat pertumbuhan fintech lending mencapai 25 persen saat pandemi Covid-19. Fintech lending telah melayani total pinjaman Rp156 triliun, melayani 43,5 juta pengguna dan juga 716 ribu lender.

Tags:

Berita Terkait