YLKI Minta Negara Jamin Hak-hak Keperdataan Konsumen di Kasus Meikarta
Berita

YLKI Minta Negara Jamin Hak-hak Keperdataan Konsumen di Kasus Meikarta

Kasus Meikarta merupakan tanggungjawab negara dan kegagalan negara dalam melakukan pengawasan. Oleh sebab itu, negara harus hadir menjamin hak-hak keperdataan konsumen yang sudah terlanjur melakukan transaksi pembelian.

M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit

 

Bahkan, YLKI sempat memprotes sebuah redaksi media masa cetak, karena lebih dari 30 persen isinya adalah iklan full colour Meikarta lima halaman penuh dari media cetak bersangkutan. Dengan nilai nominal yang relatively terjangkau masyarakat perkotaan (Rp127 jutaan), sangat boleh jadi 20.000-an konsumen telah melakukan transaksi pembelian/pemesanan.

 

(Baca Juga: 4 Kata Sandi dalam Kasus Meikarta yang Tengah Diidentifikasi KPK)

 

Kendati Wagub Provinsi Jabar Dedi Mizwar ketika itu telah meminta pengembang apartemen Meikarta untuk menghentikan penjualan dan segala aktivitas pembangunan karena belum berizin promosi Meikarta tetap berjalan, untuk menjual produk propertinya.

 

“Boleh saja pihak Lippo Group menilai bahwa apa yang dilakukannya tersebut sudah lumrah dilakukan pengembang dengan istilah Pre-project Selling,” kata Tulus.

 

Namun, praktik semacam itu pada akhirnya posisi konsumen berada dalam kondisi yang sangat rentan dirugikan karena tidak memiliki jaminan atas kepastian pembangunan. Padahal pemasaran yang dilakukan tersebut, diduga keras melanggar ketentuan Pasal 42 UU No.20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, yang mewajibkan pengembang untuk memiliki jaminan atas kepastian peruntukan ruang; kepastian hak atas tanah; kepastian status penguasaan gedung; perizinan; dan jaminan pembangunan sebelum melakukan pemasaran.

 

Pasal 42:

  1. Pelaku pembangunan dapat melakukan pemasaran sebelum pembangunan rumah susun dilaksanakan.
  2. Dalam hal pemasaran dilakukan sebelum pembangunan rumah susun dilaksanakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku pembangunan sekurang-kurangnya harus memiliki:
  1. kepastian peruntukan ruang;
  2. kepastian hak atas tanah;
  3. kepastian status penguasaan rumah susun;
  4. perizinan pembangunan rumah susun; dan
  5. jaminan atas pembangunan rumah susun dari lembaga penjamin.
  1. Dalam hal pemasaran dilakukan sebelum pembangunan rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (2), segala sesuatu yang dijanjikan oleh pelaku pembangunan dan/atau agen pemasaran mengikat sebagai perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) bagi para pihak.

 

Menurut data YLKI, ujar Tulus, sistem pre-project selling dan pemasaran yang dilakukan oleh banyak pengembang sering kali menjadi sumber masalah bagi konsumen di kemudian hari. Terbukti sejak 2014-2016, YLKI menerima sekurangnya 440 pengaduan terkait perumahan, yang mayoritas masalah tersebut terjadi akibat tidak adanya konsistensi antara penawaran dan janji promosi pengembang dengan realitas pembangunan yang terjadi.

 

(Baca Juga: Tips Bagi Konsumen Jika Ingin Beli Apartemen)

 

Bahkan pada 2015, sekitar 40% pengaduan perumahan terjadi sebagai akibat adanya pre-project selling, yakni adanya informasi yang tidak jelas, benar dan jujur; pembangunan bermasalah; realisasi fasum/fasos; unit berubah dari yang ditawarkan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait