Wiwiek Awiati: Pendamping Para Agung
Berita

Wiwiek Awiati: Pendamping Para Agung

Perubahan itu bukan hal yang tak mungkin, selama optimistis hinggap, berbagai hambatan bakal menyingkir.

Inu
Bacaan 2 Menit

 

Dunia kampus, dengan keadaan semacam itu membuatnya merasa nyaman selama sekian waktu. Tapi gejolak krisis ekonomi 1998 menghapus segala kenyamanan itu.

 

Seperti masyarakat lain, mahasiswa yang dia bekali ilmu, ternyata menunjukkan sikap ketidakpuasan dengan kondisi negara mereka. Segala teori hukum yang tertancap dalam benak mereka keluar dan bertabrakan dengan kondisi riil. Kesimpulannya, ternyata wajah hukum Indonesia di depan mata mereka tak padu-padan dengan teori yang mereka terima.

 

Gejolak itu tertuang dalam setiap kali Wiwiek memberi kuliah. Pertanyaan mereka, dalam setiap kuliah berlangsung kerap sulit dibendung dengan teori atau hasil penelitian terbatas yang dia dapat sebagai bahan ajar.

 

Menanggapi itu, konsultasi dengan rekan sekerja berujung pada kesimpulan, cukup dengan bahan dan hasil penelitian terbatas bakal meredam amuk pemikiran para mahasiswa. Tetapi, Wiwiek lebih memilih untuk bersikap lain dan tak sependapat dengan kesimpulan rekan lain.

 

Karena itu, tawaran untuk bergabung dengan satu organisasi nonpolitik ICEL, dia terima dengan terbuka. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ini mengkhususkan diri pada penelitian kebijakan, pengembangan kapaasitas para pemangku kepentingan, dan advokasi sektor lingkungan. “Tanpa sadar, saya terlibat dalam pelbagai hal sejak bergabung dengan ICEL,” tutur rekan anggota Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Mas Achmad Santosa di LSM itu.

 

Bahkan, Wiwiek merasa, pemikiran dia menghadapi sejumlah pekerjaan di ICEL menjadi sama dengan para mahasiswa yang dia ajar. Ada banyak hal tidak sesuai dengan teori atau literatur keilmuan yang dia telan lalu disimpan dalam benaknya. Keadaan itu makin membuatnya untuk memutuskan mengurangi waktu mengajar dan mencari solusi membenahi peradilan.

 

Bukan semata melahirkan teori baru untuk membenahi keadaan hukum di Indonesia kala itu. Tetapi, bagaimana semua orang punya keyakinan bahwa mereka sederajat dalam hukum sekaligus mempercayainya guna menjaga derajat mereka itu. Tatkala cetak biru pembaruan peradilan lahir, Wiwiek berpikir, akan mudah bagi seseorang mengetahui sebapa sebab apa hukum bukan lagi benteng terakhir rakyat mencari keadilan. “Karena itu tawaran untuk bergabung tak saya tampik,” tukasnya.

Tags: