Wajah Baru Pengelolaan Proyek SBSN Pasca Perubahan PP 56/2011
Kolom

Wajah Baru Pengelolaan Proyek SBSN Pasca Perubahan PP 56/2011

Setidaknya terdapat dua respons cepat yang harus segera dilakukan pemerintah dalam konteks ini adalah Kementerian PPN/Bappenas dalam rangka mengakomodir amanat perubahan PP 56/2011.

Bacaan 8 Menit

Pertama, Proyek Prioritas dalam RPJMN 2020-2024 dilaksanakan oleh kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah/BUMD, BUMN, dan swasta/masyarakat. Hal itu kemudian diuraikan lebih konkret dalam Dokumen RKP 2023. Dinyatakan bahwa total kebutuhan investasi tahun 2023 mencapai 6.591,6-6.702,9 triliun. Dari total kebutuhan investasi tersebut investasi Pemerintah menyumbang 5,0-5,1% (329,4-341,3 triliun), investasi BUMN 6,7-7,8% (441,1-525,0 triliun), dan sisanya 88,3-87,1% (5.821,1-5.836,6 triliun) akan dipenuhi oleh investasi swasta. Kedua, melaksanakan pembangunan tanpa memberatkan APBN (below the line). Ketiga, memperoleh aset SBSN yang berkualitas. Keempat, penguatan penilaian proyek SBSN agar mempunyai daya ungkit tinggi (leveraging) terhadap pencapaian Prioritas Nasional. Kelima, mempertajam mitigasi risiko proyek SBSN.

Pada April 2023, Pemerintah melalui Kementerian Sekretariat Negara melakukan pengundangan terhadap PP 16/2023. Perubahan terhadap PP 56/2011 ini membuat terjadinya pergeseran dalam hal cara mengelola proyek SBSN. Terbitnya PP 16/2023 tentunya memberikan dampak signifikan terhadap tata kelola SBSN dewasa ini. Dampak perluasan pemanfaatan SBSN sebagai sumber pembiayaan proyek pembangunan telah memberikan makna positif terhadap ekosistem perencanaan pembangunan nasional. PP 16/2023 menjadikan alokasi anggaran pada prioritas lebih terjaga karena SBSN sebagai sumber pembiayaan relatif lebih aman apabila terjadi refocusing dan realokasi anggaran. Selain itu, kesiapan proyek pembangunan menjadi lebih baik, hal itu dikarenakan kriteria kesiapan (readiness criteria) dan pengendalian menjadi lebih detail dan jelas.

Adapun wajah baru pengelolaan proyek SBSN pasca perubahan PP 56/2011 dapat dirangkum menjadi tiga poin pokok. Pertama, berkenaan dengan perluasan pemanfaatan proyek SBSN. Kondisi existing sebelumnya, pembiayaan proyek SBSN hanya untuk proyek yang akan dilaksanakan oleh kementerian/lembaga. Kemudian diperluas pemanfaatan proyek SBSN sehingga pelaksanaan dan aset proyek SBSN dapat diterima oleh kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah/BUMD, dan BUMN (Pasal 5 PP 16/2023). Dalam hal tata kelola perluasan pemanfaatan proyek SBSN melibatkan instansi pengusul proyek SBSN (kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah/BUMD, dan BUMN), Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian BUMN. Lebih lanjut untuk perluasan pemanfaatan proyek SBSN oleh Pemerintah Daerah/BUMD dan BUMN diarahkan untuk menggunakan pendanaan “below the line” melalui penerusan pinjaman dengan mekanisme pinjaman daerah, pinjaman kepada BUMN, dan investasi pemerintah (Pasal 25 PP 16/2023).

Poin pokok kedua berkenaan dengan pembagian kewenangan (division of powers) pengelolaan proyek SBSN antara Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian BUMN. Kementerian PPN/Bappenas berwenang menentukan prioritas proyek, menerima usulan proyek, menyeleksi proyek, menetapkan prioritas proyek, memonitoring dan mengevaluasi proyek (aspek pembangunan fisik), dan memberikan rekomendasi percepatan pelaksanaan proyek kepada pemrakarsa. Kementerian Keuangan berwenang menyusun Batas Maksimal Penerbitan (BMP) proyek, menerbitkan SBSN, membayar kontrak proyek, manatausahaan penerusan proyek, menetapkan penerusan proyek, menganggarkan proyek, memonitoring dan mengevaluasi proyek (aspek pendanaan), memberikan rekomendasi percepatan pelaksanaan proyek kepada pemrakarsa, dan mencatatkan aset. Kementerian Dalam Negeri berwenang memberikan rekomendasi penerusan proyek kepada pemerintah daerah, memonitoring dan mengevaluasi proyek (aspek penarikan, penggunaan, dan pembayaran kembali penerusan proyek), dan memberikan rekomendasi percepatan pelaksanaan proyek kepada pemrakarsa. Kementerian BUMN berwenang memberikan rekomendasi penerusan proyek kepada BUMN.

Poin pokok ketiga berkenaan dengan upaya mempertajam mitigasi risiko proyek SBSN. Hal itu dilaksanakan dengan maksud agar proyek SBSN tidak menambah defisit APBN. PP 16 /2023 memberikan kewenangan kepada Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional dalam melakukan penilaian kelayakan Proyek agar mempertimbangkan: (Pasal 20 PP 16/2023)

  • aspek strategis dan urgensi dari usulan proyek SBSN, keselarasan proyek SBSN dengan prioritas pembangunan nasional pada RPJMN dan/atau RKP;
  • tata ke1ola opini hukum dan kepatuhan, kelayakan teknis, ekonomis, finansial, sosial dan lingkungan, serta kesiapan teknis pelaksanaan proyek SBSN;
  • profil risiko dan mitigasi risiko proyek SBSN;
  • batas maksimal penerbitan SBSN dalam rangka pembiayaan proyek SBSN yang ditentukan oleh Menteri Keuangan; dan
  • kesesuaian proyek SBSN dengan prinsip syariah.

Ditegaskan lebih lanjut bahwa terhadap proyek penerusan SBSN, profil risiko dan mitigasi risiko proyek SBSN minimal memuat risiko kredit, risiko likuiditas, risiko nilai mata uang, risiko hukum, risiko strategis, risiko reputasi, dan risiko syariah.

Tags:

Berita Terkait