Wacana TNI Boleh Isi Jabatan Sipil, Ingat Prinsip Profesionalitas
Berita

Wacana TNI Boleh Isi Jabatan Sipil, Ingat Prinsip Profesionalitas

Militer aktif hanya bisa menduduki posisi-posisi yang terkait dengan keamanan negara sesuai Pasal 47 ayat (2) UU TNI.

Ady Thea DA/Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Hukumonline.com

 

Sementara itu, Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis Almasyhari setuju dengan usulan tersebut sepanjang tak bertentangan dengan UU TNI. Selama ini, lanjutnya, sudah ada posisi di kementerian dan lembaga yang boleh ditempati oleh militer aktif. Hal itu termaktub pada Pasal 47 ayat (2) UU TNI.

 

“Sejak 2008 itu (TNI boleh menjabat jabatan sipil, red) kan sudah ada, makanya saya heran kok pada ribut sekarang, ada apa,” katanya.

 

Namun, jika jabatan sipil yang dimaksud di luar kementerian/lembaga yang disebut dalam UU TNI, Kharis menilai perlu dikaji terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan belum ada peraturan perundang-undangan yang membolehkan TNI menjabat jabatan sipil di luar yang disebutkan dalam UU TNI.

 

Terkait usulan sipil boleh menjabat jabatan strategis di TNI, Kharis menilai tidak mungkin terjadi. Sipil hanya boleh menjabat untuk jabatan yang bersifat administrasi saja. “Iya, kalau di TNI tidak mungkin. Misalnya jadi Pangdam tidak mungkin. Tapi bahwa di admisitrasi ada, itu orang sipil juga banyak,” pungkasnya.

 

Baca:

Perwira Aktif Emban Jabatan Sipil Tak Bisa Dipaksakan, Kecuali..

Perwira Aktif Mengampu Jabatan Sipil? Cermati Dulu Aturan Ini

 

Amanat Reformasi

Tita mengatakan, salah satu amanat Reformasi 1998 adalah transisi dari pemerintahan yang militeristik kepada pemerintahan sipil. Hal ini terlihat dengan mengembalikan militer pada fungsi sesungguhnya yaitu keamanan negara. Hal ini perlu dipikirkan lebih jauh sebelum menerima usulan tersebut.

 

“Kita seharusnya memetik banyak pelajaran dari pengalaman masa lalu yang membiarkan dominasi militer dalam berbagai aspek kehidupan dan dampaknya bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bahkan dampak-dampak rezim militeristik di masa Orde Baru masih menjadi pekerjaan rumah yang tidak terselesaikan hingga pemerintahan Presiden Jokowi,” katanya.

 

Tita menambahkan, jika Indonesia mengabaikan alasan utama dalam melakukan Reformasi dan menumbangkan Pemerintah Orde Baru yang militeristik, maka terdapat risiko yang harus dihadapi sehingga Reformasi yang diperjuangkan menjadi tidak ada artinya.

Tags:

Berita Terkait