Wacana TNI Boleh Isi Jabatan Sipil, Ingat Prinsip Profesionalitas
Berita

Wacana TNI Boleh Isi Jabatan Sipil, Ingat Prinsip Profesionalitas

Militer aktif hanya bisa menduduki posisi-posisi yang terkait dengan keamanan negara sesuai Pasal 47 ayat (2) UU TNI.

Ady Thea DA/Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Beberapa waktu lalu, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dalam Rapat Pimpinan TNI 2019 mengusulkan perubahan struktur TNI sekaligus merevisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dia menginginkan eselon satu, eselon dua di kementerian/lembaga bisa diduduki perwira TNI aktif, sehingga pangkat kolonel bisa masuk. Usulan ini memicu pro dan kontra.

 

Salah satunya datang dari peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Dian Rositawati. Menurut wanita yang akrab disapa Tita ini, jika usulan tersebut tetap dilaksanakan maka berpotensi terlanggarnya prinsip profesionalitas. Hal ini dikarenakan sebuah jabatan telah memiliki kriteria keahlian yang khusus sehingga dapat berfungsi secara optimal.

 

“Jika kita menerapkan prinsip profesionalitas maka, di satu sisi mendudukkan militer aktif di posisi sipil bertentangan dengan asas profesionalitas,” kata Tita kepada Hukumonline, Selasa (25/2).

 

Ia tergelitik dengan usulan tersebut, bahwa semata-mata hanya TNI yang boleh menjabat jabatan sipil. Tita mengatakan, jika TNI boleh menjabat jabatan sipil, maka bisa juga sipil untuk menjabat jabatan strategis di TNI yang notabene tidak memiliki latar belakang pendidikan dan keahlian militer.

 

“Jika ada pernyataan, kalau TNI boleh isi jabatan sipil, sebaliknya boleh gak sipil isi jabatan TNI? ada yang keberatan?” tanya Tita.

 

Menurutnya, jika hal ini yang berlaku maka berpotensi memperlemah birokrasi negara dan merugikan fungsi keamanan. “Saya rasa TNI seharusnya merasa rugi, jika investasinya dalam hal waktu, uang, personel yang harus dibina dan didik sebagai seorang militer berpengalaman akhirnya justru menduduki posisi-posisi yang tidak ada hubungannya dengan fungsi utamanya,” katanya.

 

Seharusnya, lanjut Tita, prajurit TNI aktif hanya bisa menduduki posisi-posisi yang terkait dengan keamanan negara. Seperti, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Menteri Pertahanan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Narkotika Nasional (BNN) dan lembaga lain terkait dengan keamanan negara. Dengan begitu, militer aktif tetap berpartisipasi dalam pemerintahan dalam koridor profesionalitas dan fungsinya yang utama.

 

Hukumonline.com

 

Sementara itu, Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis Almasyhari setuju dengan usulan tersebut sepanjang tak bertentangan dengan UU TNI. Selama ini, lanjutnya, sudah ada posisi di kementerian dan lembaga yang boleh ditempati oleh militer aktif. Hal itu termaktub pada Pasal 47 ayat (2) UU TNI.

 

“Sejak 2008 itu (TNI boleh menjabat jabatan sipil, red) kan sudah ada, makanya saya heran kok pada ribut sekarang, ada apa,” katanya.

 

Namun, jika jabatan sipil yang dimaksud di luar kementerian/lembaga yang disebut dalam UU TNI, Kharis menilai perlu dikaji terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan belum ada peraturan perundang-undangan yang membolehkan TNI menjabat jabatan sipil di luar yang disebutkan dalam UU TNI.

 

Terkait usulan sipil boleh menjabat jabatan strategis di TNI, Kharis menilai tidak mungkin terjadi. Sipil hanya boleh menjabat untuk jabatan yang bersifat administrasi saja. “Iya, kalau di TNI tidak mungkin. Misalnya jadi Pangdam tidak mungkin. Tapi bahwa di admisitrasi ada, itu orang sipil juga banyak,” pungkasnya.

 

Baca:

Perwira Aktif Emban Jabatan Sipil Tak Bisa Dipaksakan, Kecuali..

Perwira Aktif Mengampu Jabatan Sipil? Cermati Dulu Aturan Ini

 

Amanat Reformasi

Tita mengatakan, salah satu amanat Reformasi 1998 adalah transisi dari pemerintahan yang militeristik kepada pemerintahan sipil. Hal ini terlihat dengan mengembalikan militer pada fungsi sesungguhnya yaitu keamanan negara. Hal ini perlu dipikirkan lebih jauh sebelum menerima usulan tersebut.

 

“Kita seharusnya memetik banyak pelajaran dari pengalaman masa lalu yang membiarkan dominasi militer dalam berbagai aspek kehidupan dan dampaknya bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bahkan dampak-dampak rezim militeristik di masa Orde Baru masih menjadi pekerjaan rumah yang tidak terselesaikan hingga pemerintahan Presiden Jokowi,” katanya.

 

Tita menambahkan, jika Indonesia mengabaikan alasan utama dalam melakukan Reformasi dan menumbangkan Pemerintah Orde Baru yang militeristik, maka terdapat risiko yang harus dihadapi sehingga Reformasi yang diperjuangkan menjadi tidak ada artinya.

Tags:

Berita Terkait