UU Penanaman Modal Sebuah Anomali Kebijakan
Berita

UU Penanaman Modal Sebuah Anomali Kebijakan

Ahli pemerintah berpendapat, UUPM formula jitu untuk meningkatkan perekonomian rakyat secara keseluruhan. Sebaliknya, pemohon menilai pilihan kebijakan ekonomi pemerintah itu kontradiktif dengan tujuan.

NNC
Bacaan 2 Menit
UU Penanaman Modal Sebuah Anomali Kebijakan
Hukumonline

 

Menanggapi pertanyaan Patra ini, pemerintah mengaku tak sedang linglung dalam melindungi bidang usaha yang menyangkut hajat hidup orang banayk. Pemerintah malah menjamin instrumen Perpres tidak akan berpotensi digunakan sewenang-wenang seperti dikhawatirkan para pemohon. Menurut pemerintah dalam keterangan tertulisnya, penjabaran daftar bidang usaha melalui Perpres,  dilandasi dinamisasi perekonomian yang cukup pesat. Ekonomi Indonesia sedang tumbuh, semakin kompleks, tulis pemerintah. Dengan begitu, pemerintah berpendapat, pembuatan keputusan tentang investasi yang juga menjadi semakin kompleks itu tidak bisa dipusatkan seperti model perekonomian sosialis.

 

Menambahi itu, Ahli pemerintah Chatib Basri mengatakan, UUPM dan Perpres DNI merupakan pilihan kebijakan yang selain menggelar karpet merah bagi investor baik asing maupun lokal, ia telah diimbangi usaha pemerintah melakukan pengawasan pada pelaku pasar. Baru-baru ini kita juga preseden bagus untuk melihat bahwa kontrol pemerintah dalam melindungi kepentingan nasional ternyata berjalan. Keberadaan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha, red) dalam putusan Temasek bisa menjadi bukti untuk itu, terang Chatib.

 

Anomali Kebijakan

Sementara Ahli pemohon Hendri Saparini menanggapi sinis paparan pemerintah. Menurutnya, jika ditilik dari tujuan yang muluk-muluk dalam UUPM, kebijakan pilihan pemerintah malah jadi jauh panggang dari api. UUPM ini timbul hanya karena kepanikan merosotnya tingkat investasi saja. Semangatnya hanya buka-bukaan. Regulasi ini telah mencampuradukkan antara promosi dan regulasi, nilai Hendri.

 

Menurut Hendri, salah satu penyebab anjlognya investasi bukan lantaran kebijakan yang kurang yahud. Toh, promosi UUPM ternyata belum begitu menarik hati investor untuk beramai-ramai menanam modal. Sebenarnya hambatan ada pada rendahnya kredibilitas pemerintah di mata para investor dalam membenahi masalah yang menghambat investasi seperti infrastruktur, energi, dan hambatan birokrasi, ujar Hendri.

 

Anomali  ini, contohnya, antara lain janji pemerintah memperbaiki infrastruktur yang tidak terwujud. Proyek jalan tol yang dalam Infrastruktur Summit 2005 dijanjikan sebesar 1500 Km selama 5 tahun (2005-2009), hingga 4 Desember 2007 atau selama tiga tahun pertama hanya terealisasi 47,83 km atau hanya 5,3 persen dari target.

 

Dalam pengamatan Direktur Palaksana ECONIT ini, hal yang sama juga terjadi pada masalah energi. Bagaimana mungkin berharap ada investor baru, kalau pasok energi untuk memenuhi kebutuhan industri yang ada saat ini saja belum mencukupi sampai-sampai harus dilakukan pemadaman listrik bergilir. Bagaimana mungkin akan terjadi pembangunan pabrik baru kalau kebutuhan gas untuk pabrik yang ada saja tidak terpenuhi, seru Hendri.

 

Dan kalau memang niatnya menjalin kemitraan dengan UMKM untuk melindungi usaha lokal menengah ke bawah, lanjutnya, Kenapa justru sektor minyak dan gas, sektor keuangan dan perbankan, sektor pertanian strategis, dan sebagainya tidak dibatasi kepemilikan asingnya, tetapi sektor yang tidak strategis seperti rumah makan, gedung pertunjukan, dll justru kepemilikan asingnya dibatasi. 

 

Agenda persidangan mendengarkan keterangan ahli dalam perkara uji materi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) bergulir kian memanas. Dalam sidang yang digelar Rabu (5/12) di ruang sidang utama Gedung Mahakamah Konstitusi, pemerintah memboyong delapan ahli, mulai dari duet ekonom seperti Faisal Basri dan Chatib Basri hingga pakar tata negara kawakan Prof. Ismail Sunny.

 

Dalam jawaban atas pertanyaan hakim pada sidang terdahulu, pemerintah mengatakan bidang-bidang usaha yang tertutup untuk investasi baik lokal maupun asing dalam UUPM ditentukan berdasar kriteria kesehatan keselamatan pertahanan dan keamanan lingkungan hidup dan moral budaya (K3LM) dan kepentingan nasional lain. Sementara untuk bidang usaha yang terbuka untuk kedua jenis investor mesti memperhatikan segepok persyaratan berdarkan kriteria kepentingan nasional, antara lain perlindungan Sumber Daya Alam, perlindungan pengembangan usaha mikro kecil menengah dan koperasi (UMKM), pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kemitraan dengan badan usaha yang ditunjuk pemerintah.

 

Semua persyaratan buka-tutupnya bidang usaha itu, seperti dikatakan oleh Sekretaris Jenderal Depkumham Abdul Bari Azed, telah tertuang dalam Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2007. Sementara untuk daftar bentuk usaha yang dipalang buka atau stop buat investor dituang dalam Perpres No. 77 Tahun 2007. Kedua Perpres ini akrab dijuluki Perpres Daftar Negatif Investasi (Perpres DNI).

 

Inilah yang  menjadi kritikan dari pemohon. Dalam UUPM teranyar, bidang usaha yang mestinya dilindungi seperti ditentukian dalam Pasal 33 UUD 1945 itu hanya dijabarkan dengan Perpres. Padahal, menurut pemohon, UUD menentukan pelaksanaan Pasal 33 UUD itu mestinya dirigidkan dalam Undang-undang termasuk jabaran bidang usaha yang mesti dilindungi. Dengan menggunakan Perpres tampaknya pemerintah kebingungan untuk menafsirkan cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Bidang usaha mana yang harus dilindungi jadi bisa diubah seenaknya, ujar Patra M. Zen, kuasa hukum pemohon.

 

Hal ini, menurut Patra, merupakan suatu kemunduran jika dibandingkan dengan UU Penanaman Modal sebelumnya, yakni UU No.1/1967. Dalam UU itu, daftar usaha yang mesti dilindungi ditentukan secara tegas. Ini kenapa sekarang semua hanya dipetaruhkan pada Perpres yang bisa berubah sewaktu-waktu. Sepertinya pemerintah belum yakin dengan usaha yang mesti dilindungi, tegasnya.

Tags: