Para pegiat antikorupsi mengetahui pembahasan RUU tanpa adanya Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). Begitu pula Presiden tak membuka ruang bagi masyarakat untuk memberi masukan, atau minimal melibatkan KPK. Tak heran, sebagian elemen masyarakat terus menyuarakan penolakan RUU KPK melalui aksi unjuk rasa karena tak memberi ruang atau forum untuk mendengar aspirasi dari kelompok masyarakat yang menolak RUU KPK.
“Menurut saya ini ‘bencana’ legislasi yang diciptakan DPR bersama Presiden periode ini di akhir masa jabatannya,” sebutnya.
Cacat formil
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum)Fedian Andi menilai pembahasan dan pengesahan RUU KPK menjadi UU cacat fomil yang bisa menjadi objek pengujian di Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, prosesnya melanggar Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sebab, secara nyata proses pembahasan RUU KPK ini mengabaikan asas keterbukaan dan partisipasi masyarakat.
“Partisipasi yang muncul dari publik melalui berbagai saluran tidak dijadikan bahan masukan oleh Presiden dan DPR dalam pembahasan perubahan UU KPK,” ujar Fedian di Jakarta, Rabu (18/9/2019).
Pasal 5 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan harus memenuhi asas keterbukaan. “Partisipasi masyarakat ini sebagai ajang konsultasi publik seperti diatur pula dalam Pasal 188 ayat 1-3 Perpres No 87 Tahun 2014 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” terangnya.
“Patut dicatat, partisipasi masyarakat itu letaknya mulai dari proses penyiapan RUU, pembahasan RUU, hingga pelaksanaan UU.”
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara itu menilai DPR dan Presiden mengabaikan elemen dasar pembentukan peraturan perubahan UU KPK ini yakni keterbukaan dan partisipasi masyarakat. Keduanya ibarat koin mata uang yang tak dapat dipisahkan satu dengan lainnya dalam proses pembentukan UU.