UU ITE Tak Tepat Jerat Pelaku Penghinaan
Berita

UU ITE Tak Tepat Jerat Pelaku Penghinaan

UU ITE seharusnya cukup mengatur perdagangan elektronik.

RIA
Bacaan 2 Menit

Berdasarkan catatan hukumonline, kasus serupa juga pernah menimpa beberapa nama. Di antara rentetan kasus terdapat nama Prita Mulyasari, Benny Handoko, Florence Sihombing, dan salah seorang Dosen FISIP UI berinisial AA.

Josua berpendapat sering terjadi kesalahan penerapan ketentuan penghinaan pada penggunaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE dalam banyak kasus. “Itu yang sangat saya sayangkan,” imbuhnya.

Contohnya, sebut Josua, kalau ada orang menghina perusahaan melalui akun media sosialnya, lalu karena perusahaan itu melaporkan ke kepolisian mengenai penghinaan, akhirnya laporan diproses dan orang tersebut terjerat Pasal 27 ayat (3) UU ITE.

“Padahal itu adalah suatu kesalahan, karena yang namanya penghinaan (menurut KUHP) itu kan terhadap pribadi bukan perusahaan kan? Tapi kenapa itu tetap diproses?” sampai Josua ketika dihubungi hukumonline, Senin (30/3).

Kesalahan lainnya dapat dilihat dalam kasus Florence. Mahasiswa pascasarjana Universitas Gadjah Mada ini dituduh menyebarkan pernyataan kebencian, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE.

Ketua Badan Pengurus Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju mempertanyakan apakah pernyataan yang emosional itu bisa masuk dalam kategori penyebaran kebencian. “Karena kan nggak ada ajakan untuk memusuhi orang Yogjakarta, yang ada ajakan untuk tidak mengunjungi Yogja. Itu beda kan. Tidak mengunjungi Yogja dalam konteks pariwisata loh itu,” pungkasnya

Pun seharusnya jika menggunakan logika undang-undang, yang meng-capture dan menyebarkan isi path Florence-lah yang dijerat dengan UU ITE karena dia lah yang menyebarkan Informasi atau Dokumen Elektronik, sebut Anggara.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait