Usulan Relaksasi Royalti Batubara Dinilai Tidak Tepat
Berita

Usulan Relaksasi Royalti Batubara Dinilai Tidak Tepat

Bertentangan dengan prinsip filosofis dan hukum royalti yang dikenakan atas berpindahnya kepemilikan/penguasaan sebuah komoditas tambang dari tangan negara ke pihak swasta.

Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

Jika komoditas SDA dijual terlebih dahulu baru kemudian dilaporkan, itu bertentangan dengan hak konstitusional penguasaan negara, dimana sebuah komoditas baru dapat berpindah tangan, jika pembayaran royalti telah dilakukan. Pembayaran royalti di depan lebih memberikan kepastian hukum, kepastian cash flow, dan konstitusional.

“Pembayaran yang dilakukan setelah pengapalan akan rawan terhadap praktik transfer pricing, terlebih jika harga dilepas kepada corporate atau harga pasar. Transfer pricing bukan hanya berdampak pada PNBP melainkan juga berdampak pada penerimaan pajak dari industri batu bara,” tegasnya.

Maryati juga menekankan bahwa illicit financial flows (IFF) akibat miss-invoicing trade (salah satunya melalui transfer pricing) masih besar di Indonesia, bahkan kita masuk dalam 10 besar dengan IFF tertinggi di dunia menurut Global Financial Integrity (GFI, 2015).

Ketiga, mengenai usulan yang meminta DMO diturunkan dari yang semula 25% diusulkan turun hingga 18%, termasuk sanksi bagi yang tidak menjalankan DMO diminta untuk ditangguhkan. Maryati menyatakan, hal ini menunjukkan pebisnis batu bara tidak peka dengan kebutuhan nasional, terutama kebutuhan pasar dalam negeri yang berkaitan juga dengan pemulihan ekonomi. 

Selain itu, usulan ini tidak sejalan dengan prioritas presiden Jokowi dalam mendorong transformasi ekonomi dengan melakukan hilirisasi bahan mentah di dalam negeri.

“Sanksi berupa pemotongan kuota produksi sudah tepat, karena ini menyangkut juga tanggung jawab perusahaan yang harus diperankan terhadap perekonomian nasional, sekaligus merupakan bentuk pengendalian produksi batubara” tutup Maryati.

Sementara Peneliti Senior INDEF, Enny Sri Hartati mengungkapkan, apabila diterapkan harga aktual (harga korporasi) yang diminta pengusaha minerba, berpotensi sekali terjadinya moral hazard. Enny menilai usulan tersebut tidak rasional dan tidak memiliki justifikasi yang kuat.

Dengan menggunakan index (HPB) saat ini saja sudah menguntungkan sekali bagi pengusaha batubara. HPB bahkan sering ditinjau setiap bulan, jika pengusaha ingin melepaskan pada harga pasar, menurut Enny hal ini tidak memberikan kepastian. Jika hal ini sampai lolos tanpa kontrol, bagaimana dengan harga komoditas di petani, mereka juga diatur oleh negara tidak suka-suka. 

“Batubara bukan komoditas biasa. Batubara adalah komoditas yang non-renewable. Maka seharusnya benar-benar didasarkan pada Pasal 33 UUD 1945. Bagaimana mungkin kedaulatan atas SDA tersebut disetir oleh swasta. Ini tidak hanya melukai masyarakat, namun juga melanggar konstitusi,” tegas Enny.

Margin profit pengusaha pertambangan menurut INDEF sebesar 20%, namun royalti hanya 6% dari 13,5%, di mana sisanya adalah untuk dana pengembangan batubara. “Royalti bukan hanya sekadar bagi-hasil, namun juga memperhitungkan aspek sosial dan biaya lingkungan.” tutup Enny.

Tags:

Berita Terkait