Usul Kepala PPATK untuk Pendaftaran Perseroan
Utama

Usul Kepala PPATK untuk Pendaftaran Perseroan

Tanpa jelas disebut direksi mana yang bertanggung jawab seara pidana, penegak hukum akan kesulitan menjerat korporasi.

MUHAMMAD YASIN
Bacaan 2 Menit
Prof Topo Santoso (paling kiri) dalam acara seminar di FH Universitas Pancasila, Senin (21/12). Foto: MYS
Prof Topo Santoso (paling kiri) dalam acara seminar di FH Universitas Pancasila, Senin (21/12). Foto: MYS
Dalam penegakan hukum pencucian uang ternyata ada masalah yang dihadapi ketika hendak menjadikan perseroan sebagai pelaku kejahatan. Menyeret korporasi tidak semudah membalik telapak tangan terutama tentang siapa yang dimintai pertanggungjawaban pidana. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) memang sudah menyebutkan yang bertanggung jawab di luar dan di dalam pengadilan adalah direksi perseroan.

Rupanya, aturan demikian saja tidak cukup. Dalam prakteknya, direksi bisa saja melarikan diri, sakit permanen, gila, atau sebab lain yang memungkinkan direksi tak bisa dijerat pidana. Bisa juga direksi berkelakuan baik tetapi karena bertindak atas korporasi yang melanggar undang-undang ia harus duduk sebagai terdakwa. Merasa tidak berniat menguntungkan pribadi ia tidak mau hadir ke persidangan. Padahal, harus ada yang bertanggung jawab dari korporasi.

Itu sebabnya, Ketua PPATK, Muhammad Yusuf, mengusulkan agar ke depan perlu dibuatkan, terutama dalam revisi UUPT, aturan yang mengharuskan PT mencantumkan secara tegas siapa-siapa yang bertanggung jawab pada saat perseroan mendaftarkan perusahaan ke Kementerian Hukum dan HAM.

Yusuf berpenapat perlu dirumuskan dalam pendirian korporasi di Kemenkum. “Siapa yang wajib dimintai tanggung jawab pidana,” kata Yusuf saat menjadi pembicara dalam seminar ‘Tanggung Jawab Korporasi dalam Tindak Pidana Pencucian Uang di aula Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta, Senin (21/12). Ia mengusulkan agar usul perubahan aturan pendirian korporasi dimasukkan sebagai salah satu rekomendasi seminar.

Menurut Yusuf, korporasi sebagai subjek hukum bersifat abstrak yang wujudnya haruslah diwakili direksi. Pertanggungjawaban direksi itu juga ditegaskan dalam 98 ayat (1) UUPT: ‘Direksi mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan’. Selanjutnya disebutkan, dalam hal  anggota Direksi lebih dari satu) orang, yang berwenang mewakili  Perseroan adalah setiap anggota Direksi, kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar. Masalahnya jika anggaran dasar tidak membuat aturan yang jelas.

“Sepanjang di dalam anggaran dasar korporasi belum jelas anggota direksi yang menangani bidang apa yang dapat mewakili suatu korporasi, ini akan menyulitkan penuntut umum dalam penyusunan surat dakwaan,” ujarnya.

Usulan Yusuf ke Kementerian Hukum dan HAM berkaitan dengan ketentuan dalam pendaftaran perusahaan termasuk anggaran dasarnya. Secara khusus berhubungan dengan UUPT. Dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas 2015-2019), UUPT termasuk salah satu yang akan direvisi.

Yusuf mengakui hingga kini belum ada pedoman tentang penanganan terhadap korporasi sebagai pelaku delik dalam tindak pidana pencucian uang. Jika semata bersandar pada rumusan pertanggungjawaban direksi, penegakan hukum tidak maksimal karena alasan-alasan tertentu yang menyebabkan direksi tak dihadirkan di persidangan. Jika dilakukan proses hukum tanpa kehadiran terdakwa alias in-absentia, perampasan aset yang berada di luar negeri tidak maksimal. “Kalau asetnya di luar negeri, sulit untuk mengeksekusi karena luar negeri menganggap kita tak menghargai hak-hak asasi terdakwa,” ujarnya.

Dalam seminar di Fakultas Hukum Universitas Pancasila juga terungkap kesulitan lain. Ada yang berpendapat Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang lebih menitikberatkan pada korporasi yang berbadan hukum. Padahal, faktanya, banyak korporasi yang tidak berbadan hukum seperti CV dan Firma. Secara normatif, sebenarnya Pasal 1 angka 10 UU tersebut mengartikan korporasi sebagai kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Faktanya, kasus-kasus korporasi yang ditangani selama ini menyangkut perseroan terbatas.

Lepas dari usul Yusuf, Jaksa Agung Muda Pengawasan, Widyo Pramono, mengakui masih sedikit kasus pencucian uang yang diproses hukum hingga tuntas. Karena itu ia menyambut baik langkah kepolisian menetapkan sejumlah korporasi dalam kasus  pembakaran hutan. Ia berpendapat kunci dari penegakan hukum pencucian uang adalah pemahaman dan kebersamaan seluruh aparat penegak hukum. Ia memastikan Kejaksaan tidak akan menghambat proses penegakan hukum pencucian uang sepanjang buktinya kuat. “Kalau tidak kuat jangan takut untuk menghentikan perkara,” tegasnya.
Tags:

Berita Terkait