Upaya Perlindungan Terhadap Satwa Liar dalam RUU KUHP Belum Maksimal
Berita

Upaya Perlindungan Terhadap Satwa Liar dalam RUU KUHP Belum Maksimal

Perlindungan hewan dalam RUU KUHP masih mengacu pada semangat hukum kolonial yang sudah tidak sesuai untuk diterapkan di Indonesia.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

(Baca juga: Selamatkan Satwa Liar Lewat Revisi UU No. 5/1990)

 

Menurut draft RUU KUHP yang diusulkan pemerintah ke DPR pada Februari 2018, pengaturan tentang kejahatan satwa liar masih sangat sedikit. Dituangkan dalam pasal ayat (1) huruf, pasal 369, pasal 371 ayat (1) dan ayat (2) RUU KUHP. Jika mengacu pada pasal-pasal dimaksud, ada beberapa jenis kejahatan satwa liar yang diatur.

 

Mereka yang menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya dengan tujuan yang tidak patut atau dengan melampaui batas yang diperlukan untuk mencapal tujuan tersebut; dengan ancaman pidana 6 bulan penjara atau pidana denda kategori ll. (Pasal 367 ayat (1) huruf a)

Mereka yang menggunakan dan memanfaatkan Hewan di luar kemampuan kodratnya; (Pasal 369 huruf a)

Mereka yang memberikan bahan atau obat-obatan yang dapat membahayakan kesehatan; (Pasal 369 huruf b)

Mereka yang menerapkan bioteknologi modern untuk menghasilkan Hewan atau
produk Hewan transgenik yang membahayakan kelestarian sumber daya Hewan keselamatan dan ketenteraman bathin masyarakat dan  lingkungan hidup; atau (Pasal 369 huruf c)

Mereka yang memanfaatkan bagian tubuh atau organ Hewan untuk tujuan selain medis; (Pasal 369 huruf d)

Mereka yang memasang perangkap, Jerat, dan perkakas lainnya untuk menangkap atau membunuh binatang buas di tempat yang dilewati orang yang dapat mengakibatkan timbulnya bahaya bagi orang.

Mereka yang membawa senjata api masuk ke kawasan hutan negara untuk berburu.

 

Dari ketentuan RUU KUHP tersebut terungkap bahwa kejahatan utama terhadap satwa liar adalah menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup atau mati masih belum diatur. Menurut T aufiqulhadi, dari sejumlah ketentuan di atas, belum mencerminkan adanya aturan yang melengkapi kelemahan atau keterbatasan UU No. 5 Tahun 1990, baik dari aspek subyek hukumnya maupun bobot pemidanaan.

 

Wenny Adzkia dari Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), pada kesempatan yang sama mengungkapkan kritiknya terhadap pengaturan korporasi dalam RUU KUHP. Dalam konteks sanksi dan tujuan pemidanaan bagi korporasi pelaku kejahatan lingkungan hidup, menurut dia, RUU KUHP, tidak jelas. Dalam RUU KUHP yang ada saat ini, petunjuk penjatuhan pidana kepada korporasi sangat sedikit dan tidak jelas. Jenis pidana terhadap korporasi pelaku kejahatan lingkungan hidup dibatasi hanya pada denda.

 

Ia menyoroti sistem pemidanaan dalam RUU KUHP yang berbeda dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Menurutia yang menjadi perbedaan antara keduanya adalah, di dalam RUU KUHP, sistem pemidanaan terhadap korporasi tidak menggunakan pidana minimum dan dirumuskan secara alternatif. Hal ini tidak sejalan dengan upaya serius melindungi keberlangsungan lingkungan hidup yang selama ini memiliki tantangan begitu besar.

 

Pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI), Ganjar Laksamana Bonaparta menjelaskan secara historis kemunculan korporasi sebagai subjek hukum sejak awal kemerdekaan. Korporasi menjadi subjek hukum pidana di zaman kemerdekaan RI sejak tahun 1951 melalui UU Drt No. 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang. Korporasi sebagai subjek hukum pidana semakin populer seiring lahirnya UU Tindak Pidana Ekonomi No. 7/Drt./1955 meskipun UU ini masih mengggunakan istilah ‘Badan’.

 

Ganjar memaparkan, dalam perkembangan hukum pidana modern, perbuatan pidana semakin luas sehingga delik pun makin beragam. Pemandangan yang kita lihat, terjadi kriminalisasi dan dekriminalisasi adalah akibat dari berubahnya rasa keadilan masyarakat. Perkembangan delik melahirkan terjadinya perluasan pertanggungjawaban pidana sehingga subjek hukum pidana tidak lagi hanya naturlijk person tetapi meliputi juga rechtsperson. Masuknya rechtsperson menjadi subjek hukum pidana bukan tanpa perdebatan.

Tags:

Berita Terkait