TKI Kerap Menjadi Korban Secara Sistemik
Berita

TKI Kerap Menjadi Korban Secara Sistemik

Diakibatkan mulai dari kebijakan yang tak berpihak kepada orang yang berketerampilan rendah sampai pergeseran budaya.

ADY
Bacaan 2 Menit
TKI Kerap Menjadi Korban Secara Sistemik
Hukumonline

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Tri Nuke Puji Astuti, mengatakan pekerja migran Indonesia kerap menjadi korban yang dilakukan secara sistemik. Menurutnya, salah satu kesimpulan itu dihasilkan dari penelitian yang sempat ia garap untuk mencari tahu faktor pendorong seorang warga Indonesia menjadi pekerja migran. Dari penelitiannya, perempuan yang disapa Nuke itu menggunakan istilah viktimisasi sistemik untuk orang Indonesia yang berangkat menjadi pekerja migran karena keterpaksaan.

Sejumlah faktor mengakibatkan hal itu terjadi mulai dari minimnya regulasi yang berpihak kepada warga berketerampilan rendah sampai pergeseran budaya. Bahkan, Nuke menyebut ada keterlibatan oknum pemerintah yang akhirnya memaksa orang menjadi pekerja migran. Terkait pergeseran budaya, Nuke mengisahkan di Karawang, Jawa Barat, salah satu faktor yang mendorong warga bekerja di luar negeri karena melihat tetangganya sukses menjadi pekerja migran.

Pasalnya, warga melihat mantan pekerja migran yang dianggap sukses itu bergaya selayaknya orang modern. Sehingga menarik minat warga lainnya menjadi pekerja migran. Kemudian, soal minimnya kebijakan yang berpihak kepada warga berketerampilan rendah. Nuke mencontohkan ketika pemerintah membangun industrialisasi di sebuah daerah tanpa memperhatikan keterampilan warga yang terbatas karena tingkat pendidikannya rendah.

Akibatnya, ketika pabrik-pabrik di bangun, warga berketerampilan rendah tidak dapat terserap menjadi tenaga kerja. Akhirnya, untuk mencukupi kebutuhan hidup terpaksa menjadi pekerja migran. Lalu, faktor pendorong orang menjadi pekerja migran bersinggungan dengan pernikahan usia dini, dimana seorang suami menyuruh istrinya menjadi pekerja migran dengan dalih membantu suami mencukupi kebutuhan keluarga.

Alhasil, sang istri menjadi pekerja migran dan secara rutin mengirimkan upahnya kepada suami  yang berada di kampung. Parahnya, tak jarang suami yang bersangkutan menikah lagi dan sang istri kedua pun tak luput diperintahkan menjadi pekerja migran. Selain banyak calo yang berkeliaran di desa-desa untuk mencari calon pekerja migran, kadang keluarga terdekat pun secara langsung atau tidak ikut serta mendorong anggota keluarganya menjadi pekerja migran.

Ironisnya lagi, Nuke menemukan ada keterlibatan oknum aparat pemerintahan untuk mendorong orang menjadi pekerja migran. Dengan minimnya informasi yang diperoleh calon pekerja migran tentang tata cara bermigrasi dan kerja di luar negeri, seringkali mereka terjebak pada kondisi yang merugikan. Oleh karenanya, mengingat posisi Indonesia sangat strategis di tingkat ASEAN, Nuke mendesak pemerintah aktif memanfaatkan hal tersebut dalam rangka melindungi pekerja migran. Apalagi pekerja migran Indponesia tak sedikit yang bekerja di negara ASEAN.

Nuke tak yakin, carut-marutnya pengelolaan pekerja migran yang ada saat ini akan berubah jika pemerintah tidak mengutamakan perlindungan terhadap pekerja migran. Bahkan kondisi itu berpotensi memburuk ketika tahun 2015 nanti dimana perjanjian regional ASEAN berlaku karena pekerja migran yang dilindungi adalah mereka yang berketrampilan tinggi. Oleh karenanya Nuke mendesak pemerintah untuk memberikan keterampilan terhadap seluruh rakyatnya, terutama di daerah yang ekonominya tertinggal. Dengan begitu diharapkan dapat menekan laju warga yang berketerampilan terbatas untuk mencari kerja di luar negeri.

Tags: