TKI Kerap Menjadi Korban Secara Sistemik
Berita

TKI Kerap Menjadi Korban Secara Sistemik

Diakibatkan mulai dari kebijakan yang tak berpihak kepada orang yang berketerampilan rendah sampai pergeseran budaya.

ADY
Bacaan 2 Menit

“Kalau mendapat pendidikan cukup kemungkinan besar mereka tidak akan lari (mencari kerja,-red) keluar negeri,” kata Nuke dalam diskusi di kampus UIN di Tangerang, Banten, Selasa (28/5).

Pada kesempatan yang sama, aktivis International Organization of Migration (IOM), Thaufiek Zulbahary, mengatakan yang dibutuhkan saat ini adalah bagaimana menciptakan proses migrasi yang murah, cepat dan aman. Selain itu migrasi harus menguntungkan bukan hanya untuk pekerja migran, tapi juga keluarganya. Pasalnya, ketika bekerja di luar negeri, sebagian besar pekerja migran Indonesia meninggalkan keluarganya di kampung halaman. Mengingat saat ini pemerintah dan DPR sedang membahas RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (PPILN), maka hal tersebut harus menjadi perhatian.

Namun, dari sikap yang ditunjukan pemerintah, Thaufiek belum melihat ada keseriusan dalam melindungi pekerja migran. Misalnya, pemerintah menghilangkan konsideran tentang konvensi Perlindungan Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya dalam draft RUU PPILN. Padahal, pada awalnya, RUU yang merupakan insisiasi DPR itu mencantumkan konvensi yang sudah diratifikasi tersebut.

“Pemerintah menghilangkan konvensi migran sebagai acuan,” ucapnya.

Thaufiek berpendapat ketika konvensi itu menjadi rujukan dalam RUU PPILN, maka aspek perlindungan dasar yang dibutuhkan pekerja migran akan terpenuhi. Apalagi, RUU itu ditujukan untuk mengganti UU PPTKLN yang selama ini dinilai luput memberi perlindungan terhadap pekerja migran. Dalam konvensi itu Thaufiek melihat terdapat sejumlah ketentuan yang menegaskan soal perlindungan.

Pertama, nilai-nilai HAM melekat sebagai hak pekerja migran. Kedua, informasi tentang migrasi dan proses bekerja ke luar negeri menjadi hak pekerja migran. Ketiga, mekanisme pengawasan diamanatkan oleh konvensi untuk dilakukan sejak masa perekrutan calon pekerja migran. Kelima, pekerja migran harus dilindungi dan terjamin proses pemulangannya dari negara penempatan.

Thaufiek menambahkan, selama ini ada pandangan bahwa pekerja migran yang memiliki dokumen resmi perlindungannya terjamin. Namun, data yang ada menampik pandangan itu. Thaufiek menjelaskan, dari total pekerja migran yang terjebak perdagangan manusia, sekitar 60 persen dari mereka bekerja ke luar negeri dengan menggunakan jasa agen penyalur atau sering disebut PJTKI/PPTKIS. Atas dasar itu, pemerintah dan DPR wajib mencantumkan ketentuan yang termaktub dalam konvensi Perlindungan Pekerja Migran dan keluarganya dalam RUU PPILN. Pasalnya, dalam konvensi itu ketentuan soal perlindungan sudah diatur cukup komprehensif.

Tags: