Tingkat Pelanggaran Hukum Pemilu di Papua “Juara Satu”
Berita

Tingkat Pelanggaran Hukum Pemilu di Papua “Juara Satu”

Secara serius yang harus digarisbawahi adalah hubungan kekeluargaan yang begitu erat dalam kultur masyarakat Papua sedikit banyak mempengaruhi netralitas penyelenggara.

M. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

(Baca Juga: Sanksi Administrasi Tak Menggugurkan Sanksi Pidana dalam Pilkada)

 

Sementara komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Ilham Saputra menyatakan tidak terkejut dengan tingginya artisipasi pemiih di Papua pada Pilkada 2018 lalu. Menurut Ilham, hal itu terjadi karena ada sistem Noken yang diterapkan di Papua sehingga dari seluruh daerah yang melaksanakan Pilkada pada 2018, hanya Papua yang melampaui target partisipasi masyarakat yang dipasang KPU.

 

“Bukan Anomali sebetulnya, Noken itu yang bisa saja membuat partisipasi terlihat besar,” ujar Ilham.

 

Sistem Noken sendiri adalah pola pemungutan suara khusus yang dilakukan di Papua. Dalam sistem Noken, kepala suku mewakili seluruh anggota sukunya dalam memilih calon kepala daerah.

 

Untuk itu, Alfitra mengingatkan kepada jajaran penyelengara di tingkat daerah, KPU maupun Bawaslu Provinsi Papua untuk selalu melakukan monitoring dan evaluasi terhadap setiap penyelenggara yang ada di tingkatan yang lebih rendah. Peran lembaga penyelenggara dituntut lebih ekstra untuk mengantisipasi terjadinya pelanggaran dan kecurangan.

 

Selain itu, sebagai langkah peningkatan kapasitas sumber daya manusia penyelenggara Pemilu di Papua, Alfitra menilai perlu diselenggarakan bimbingan teknis secara reguler. Hal ini bertujuan agar meningkatkan pemahaman terhadap regulasi terkait kepemiluan.

 

(Baca juga: Aparatur Negara Wajib Jaga Netralitas dalam Pilkada Serentak)

 

Satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah penyelenggara -baik pelaksana maupun pengawas-, wajib untuk senantiasa menjaga netralitas. “Netralitas di sini sangat spesifik, sebab di Papua ini semuanya bersaudara. Kultur budaya politik kekeluargaan inilah yang mengganggu netralitas penyelenggara pemilu,” ungkap Alfitra.

 

Secara serius yang harus digaris bawahi adalah hubungan kekeluargaan yang begitu erat dalam kultur masyarakat Papua sedikit banyak mempengaruhi netralitas penyelenggara. Alfitra berharap, ketika seseorang telah dilantik sebagai penyelenggara, maka harus meninggalkan identitas kekeluargaannya.

 

Profesionalitas penyelenggara Pemilu di tingkat daerah harus mampu menembus sekat primordial dalam bentuk apapun. Termasuk yang paling lumrah terjadi di Papua adalah identitas kesukuan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait