Tiga Putusan Pengadilan Berbeda tentang Calon Anggota DPD
Utama

Tiga Putusan Pengadilan Berbeda tentang Calon Anggota DPD

Putusan berbeda membingungkan Komisi Pemilihan Umum.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

Peraturan KPU No. 26 Tahun 2018 adalah upaya KPU untuk mengakomodasi putusan MK yang melarang pengurus partai politik menjadi calon anggota DPD di Pemilu 2019. Dalam pertimbangannya, MK menguraikan bahwa untuk Pemilu 2019, KPU memberi kesempatan kepada pengurus partai politik untuk tetap mencalonkan diri sebagai calon DPR sepanjang telah menyatakan mengundurkan diri dari kepengurusan partai politik.

Sjumlah akademisi yang hadir dalam FGD KPU tersebut sepakat menyarankan menyarankan kepada KPU untuk mengikuti putusan MK dengan pertimbangan status putusan MK yang lebih tinggi dari putusan MA dilihat dari norma dan batu ujinya. Akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amshari, mengatakan kasus serupa pernah terjadi pada 2009. Perosalan konversi suara yang diputus berbeda antara MK dan MA.

“Saat itu KPU memilih mengikuti putusan MA karena putusan MK adalah ejawantah dari UUD, bersifat final dan mengikat dan juga memperhatikan UU Pemilu. Dalam kondisi yang sama kami sampaikan masukan ke KPU walaupun kami sadari objek dan permasalahannya berbeda dan lebih kompleks sekarang,” ujar Feri.

Oleh karena itu, dalam situasi ini KPU hanya diberikan kesempatan untuk memilih melaksankan putusan yang mana. Entah putusan MK atau putusan MA. Feri juga menyinggung sifat putusan PTUN yang konkret, individual, dan final. Khusus untuk sifat putusan PTUN yang individual, amar putusan PTUN yang membatalkan SK DCT DPD dan memerintahkan memasukkan nama Oesman Sapta menimbulkan pertanyaan baru.

Asas penyelenggaraan pemilu yang adil menuntut penerapan segala aspek setara baik kepada penyelenggara, partai politik, calon pasangan, atau perseorangan, dan sebagainya. Jika nama Oesman Sapta sendiri yang dimasukkan ke dalam DCT DPD sedangkan sejumlah pengurus partai politik lain yang ikut terhambat Peraturan KPU No. 26 Tahun 2018 tidak dimasukkan ke dalam DCT, maka kebijakan ini dapat mengganggu asas keadilan penyelenggaraan pemilu itu sendiri.

(Baca juga: Larangan Calon Anggota DPD dari Pengurus Parpol, MK ‘Diserang’ Balik).

Anggota tim kuasa hukum Oesman Sapta, Gugum Ridho Putra berpendapat putusan Mahkamah Konstitusi yang baru keluar pada 23 Juli 2018 tidak dapat diterapkan ke belakang untuk menganulir proses administrasi peserta pemilu DPD yang sudah berjalan sebelum putusan itu keluar. Tahapan Jadwal Pemilu DPD Tahun 2019 sudah dimulai jauh hari sejak 26 Maret 2018. Menurut Gugum, KPU seharusnya tidak ragu menentukan sikap jika memperhatikan Pasal 47 UU MK. Pasal ini menyebutkan: “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum”. Menurut Gugum, maksud pasal tersebut adalah keberlakuan putusan Mahkamah Konstitusi bersifat prospektif ke depan dan tidak dapat diberlakukan surut ke belakang.

Tags:

Berita Terkait