Tiada Kompromi: Ketika Yap Thiam Hien Ditantang Seratus Dewa
Kolom

Tiada Kompromi: Ketika Yap Thiam Hien Ditantang Seratus Dewa

“…tak seorangpun ia tuntut selain dirinya sendiri. Dan tak sedikitpun pamrih ia harapkan untuk dirinya sendiri. Ia berdebat dengan banyak pihak dan yang ia tantang lebih banyak lagi – para pemimpin politik, hakim-hakim, jaksa-jaksa, polisi, rekan-rekan seprofesi, gerejanya, Perjanjian Lama, sebagian isi Perjanjian Baru, dan bahkan, saya kira, Tuhannya.” (Daniel S. Lev: 1989)

Bacaan 2 Menit

Pada bagian terakhir “No Concessions” yang dilengkapi sumbangan berharga Sebastiaan Pompe dan Ibrahim Assegaf sebagai penutup, gambaran profil ketiga itulah yang menonjol. Terkait hal ini, Dan Lev mendokumentasikan hampir semua perkara besar yang melibatkan Yap. Bukan hanya dengan menceritakan duduk perkara atau menggambarkan proses persidangannya saja, namun Dan Lev juga menguak jalannya perkara dalam lingkup yang lebih luas.

Dalam latar politik Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru, di mana kekuasaan kehakiman terkebiri, pertarungan seorang advokat bukan melulu soal penafsiran pasal peraturan saja, tetapi bagaimana menumbuhkan kesadaran pentingnya sistem yang mengatur kehidupan bersama: negara hukum.

Belum lagi, perlu diberi catatan khusus, Yap juga mengalami sendiri gejolak politik terbesar yang pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1965. Jatuh bangunnya Yap, sebagaimana juga jatuh bangunnya cita negara hukum di Indonesia yang diperjuangkannya, digambarkan dengan sangat menarik oleh Dan Lev. Lokasi, orang-orang, peristiwa, konteks, sepertinya tak ada satupun aspek yang terlewat dari pengamatannya.

“No Concessions” seperti ditulis dengan tekun dari beberapa lapis substansi, sehingga memang harus dibaca pula dengan cara begitu. Pada awalnya, saya sendiri kesulitan dalam mencerna isinya yang padat dan pada beberapa bagian bahkan cenderung suram. Misalnya, salah satu cerita dimana Yap duduk sendiri dalam sidang pengadilan yang dipenuhi orang-orang yang sepertinya bukan hanya sedang mengadili, namun menghakiminya.

Menariknya, setelah menuntaskan buku ini dan mencermati kembali isinya satu persatu, saya seperti selalu menemukan hal-hal baru. Konflik-konflik politik dan perkara-perkara yang melibatkan Yap dipaparkan dengan segamblang-gamblangnya.

Di satu sisi, akan segera kita temui sosok protagonis yang dengan gagah berjibaku mempertahankan prinsip-prinsipnya, bagai seorang samurai yang bertarung di medan laga. Namun, begitu kita arahkan pandangan ke sisi sebaliknya, akan terbuka fenomena yang barangkali membuat kita muntah. Bagaimana tidak. Seorang Yap yang dikucilkan di Baperki karena dianggap “anti-komunis”, misalnya, tiba-tiba mendapatkan stempel “orang komunis” setelah rezim berganti, meski gampang sekali mencerna adanya motif lain di balik pemberian stempel itu.

Lagipula, kalau Anda jeli, bukankah pembelaan Yap atas hak-hak prosedural tokoh-tokoh komunis itu juga yang digunakan sebagai legitimasi “negara hukum”-nya rezim baru itu? “No Concessions” seolah membawa sebuah pesan berharga bagi para pembacanya: mahkamah pengadilan dapat saja disabotase, tetapi itu bukan berarti mahkamah sejarah juga tersabotase. Atau, meminjam kata-kata dalam salah satu puisi Rendra: “Kita tidak sendiri dan terasing dengan nasib kita. Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan.”

Sebagai ahli politik dengan disertasi tentang Demokrasi Terpimpin– yang notabene menjadi awal terpuruknya kapasitas dan wibawa institusi-institusi hukum di Indonesia, barangkali tak ada ahli politik sepiawai Dan Lev mampu menggambarkan dinamika itu. Kemudian, karena diceritakan oleh seseorang yang menjalin hubungan pertemanan puluhan tahun, bahkan membagi cita dan harapannya akan Indonesia dengan Yap Thiam Hien, kisah hidup pahlawan pembela HAM itu dapat mengalir dengan begitu alamiah.

Akhir kata, melewatkan buku ini, bukan saja melewatkan kesempatan untuk mengenal sosok luar biasa yang pernah lahir dan berkiprah di Indonesia, tetapi juga untuk mengetahui tahapan-tahapan penting dalam sejarah politik negeri tersebut. “No Concessions” ini, sayangnya, belum dapat pembaca simak dalam bahasa Indonesia.

*) Peneliti hukum independen dan pengamatmasalah hukum dan peradilan. Ulasan lebih merinci buku “No Concessions” ini dapat dilihat dalam Jurnal Dignitas ELSAM edisi mendatang. 

Tags: