Tiada Kompromi: Ketika Yap Thiam Hien Ditantang Seratus Dewa
Kolom

Tiada Kompromi: Ketika Yap Thiam Hien Ditantang Seratus Dewa

“…tak seorangpun ia tuntut selain dirinya sendiri. Dan tak sedikitpun pamrih ia harapkan untuk dirinya sendiri. Ia berdebat dengan banyak pihak dan yang ia tantang lebih banyak lagi – para pemimpin politik, hakim-hakim, jaksa-jaksa, polisi, rekan-rekan seprofesi, gerejanya, Perjanjian Lama, sebagian isi Perjanjian Baru, dan bahkan, saya kira, Tuhannya.” (Daniel S. Lev: 1989)

Bacaan 2 Menit

Pada bagian awal bukunya, Dan Lev menunjukkan tempat-tempat di mana Yap dilahirkan dan kemudian ditempa. Dari Aceh, Yogyakarta, Batavia, Sukabumi,  Jakarta, Leiden, hingga kembali menetap di Jakarta. Tempat-tempat tersebut dijadikan sebagai judul-judul bab pada bagian awal buku ini. Dengan begitu, pembacanya seperti ditawari sebuah kesempatan untuk ikut merasakan betapa berwarnanya kehidupan Yap muda.

Kondisi sosial di Aceh, misalnya, tentu berbeda dari kondisi di Jawa. Apalagi, kalau mau dibandingkan dengan kondisi lingkungan intelektual pada seminari di Oegstgeest yang menajamkan kemampuan Yap dalam menganalisis permasalahan sosial dan politik.

Selain itu, dalam buku ini diperkenalkan pula orang-orang yang ditemui Yap dalam pengembaraan itu. Dengan tekun dan teliti, Dan Lev mengurai satu persatu orang-orang di seputar Yap yang kemudian berpengaruh dalam hidupnya. Sedikit banyak, pembaca seperti dituntun untuk melihat dari dekat bagaimana profil seorang Yap Thiam Hien terbentuk.

Kemudian, dalam bab-bab selanjutnya, Dan Lev lebih terfokus pada pergulatan pemikiran Yap yang sebenarnya telah dirasakannya sejak masa mudanya, yaitu pertanyaan soal “identitas” dan “solidaritas”. Dilengkapi dengan konteks yang melingkupinya, Dan Lev menunjukkan bagaimana pemikiran Yap tersebut berproses dalam suatu ruang nyata yang terus bergolak. Guncangan itu mungkin bahkan sudah dapat pembaca rasakan dari judul-judul bab yang digunakan: Arus Deras, Terombang-ambing Dalam Politik Peranakan, Perang Baperki, Keluar Dari Kurungan Etnis.Buku tersebut, sebagiannya, memang menggambarkan pergulatan politik Yap memperjuangkan kesetaraan hak bagi golongan peranakan.

Bagi Anda yang tertarik mempelajari sejarah atau dinamika politik peranakan Tionghoa di Indonesia, buku ini perlu untuk dibaca. Terkait permasalahan golongan peranakan ini, Dan Lev tak hanya melulu terpaku sebatas pada pandangan Yap sendiri saja, tetapi dia menggali lebih jauh latar belakang sejarah politik dari masa Hindia Belanda. Di samping itu, dia uraikan pula pandangan politik masing-masing pihak yang saling berseberangan, baik itu di dalam Baperki, maupun di luar itu, seperti pendapat Siauw Giok Tjhan dan pendapat mereka yang disebut sebagai “sepuluh tokoh”.

Ben Anderson dalam pengantarnya seperti menggarisbawahi topik perjuangan kelompok minoritas tersebut. Namun, jangan Anda pikir buku ini hanya semata cerita politik tentang orang-orang peranakan itu saja, karena pada kenyataannya perjuangan Yap memang lebih dari itu. Bahkan, kalau pembaca cermat mengamati, kesimpulan apa yang dapat diambil ketika sebuah simbol peradaban (dalam hal ini perguruan tinggi) yang dibangun oleh sebagian dari kelompok itu, di kemudian hari dihancurkan sendiri oleh sebagian lain dari kelompok yang sama?

Pada beberapa bagian dalam buku ini, sosok Yap Thiam Hien digambarkan sebagai seorang kristen taat (namun kritis), seorang nasionalis bijak (karena kritis), serta seorang advokat piawai (namun harus menelan pahitnya kenyataan politik di negerinya).

Halaman Selanjutnya:
Tags: