Seorang sumber hukumonline yang ikut intens menyusun RUU tersebut menguatkan. Katanya, naskah itu belum diserahkan ke Badan Legislasi DPR karena mentok di tangan Setneg.
Tertahannya naskah RUU KKR di Setneg lebih disebabkan oleh ketidaksetujuan terhadap sebagian materi yang dianggap krusial. Sumber tersebut mencontohkan aturan mengenai hak reparasi. Berdasarkan aturan RUU KKR, setiap korban berhak mendapat pemulihan, rehabilitasi atau semacam kompensasi.
Setneg beranggapan jika hak itu diatur dalam suatu UU, niscaya akan memberatkan APBN. Bayangkan kalau korban G.30.S yang jumlahnya mungkin jutaan meminta hak reparasi. Biaya yang dikeluarkan tidak sedikit. Semendawai juga membenarkan. "Konsep itu diyakini Setneg akan membutuhkan dana yang cukup besar," ujarnya.
Padahal, lanjut Semendawai, hak reparasi tidak selalu dalam bentuk uang. Tetapi, juga bisa dalam bentuk pengakuan bahwa yang bersangkutan adalah korban masa lalu. Cuma, itu tadi, masih ada rasa keberatan.
Itu sebabnya, masa depan rekonsiliasi nasional belum jelas benar. Aparat hukum pun tampak minim dukungan. Dendam kesumat masa lalu agaknya sulit lekang dari hati setiap orang. Dan kalau kita terus menerus berada dalam tahap belajar KKR, itu berarti tidak ada kemajuan. Kalau kunjungan Dr Penuelle Mpapa Maduna masih dijadikan sebatas belajar KKR dari Afrika Selatan, itu sama saja memulai dari nol lagi alias mundur lagi ke belakang.