Teori Hukum Progresif dalam Pemberian Wewenang SP3 oleh KPK
Kolom

Teori Hukum Progresif dalam Pemberian Wewenang SP3 oleh KPK

Hukum progresif menuntut keberanian aparat penegak hukum dan memiliki cita untuk menjauhkan dari praktik ketimpangan hukum yang tidak terkendali dan memberikan kesetaraan di depan hukum.

Bacaan 5 Menit
  1. Diskriminatif adalah dengan tidak dimilikinya wewenang pemberian SP3 itu oleh KPK, maka timbulah diskriminasi hukum terhadap warga negara. Sedangkan dalam Pasal dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28 I ayat (2), secara tegas menyatakan UUD 1945 tidak boleh mendiskiriminasi warga negara.
  2. Melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu jika ditinjau dari sudut pandang hak-hak yang dimiliki oleh seorang tersangka pada tindak pidana korupsi, ketentuan dalam Pasal 40 dinilai melanggar hak asasi tersangka yang juga merupakan warga negara. Dengan tidak dimilikinya kewenangan SP3 oleh KPK maka terhadap warga negara yang ditetapkan sebagai tersangka dimungkinkan untuk tidak dapat dipulihkan kehormatan dan martabatnya.
  3. Mengangkangi UUD yang dimaksud semua peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar bukankah telah mengangkangi atau melecehkan Undang-Undang Dasar NKRI Tahun 1945.

Berdasarkan permasalah-permasalahan yang telah dijelaskan di atas maka dirumuskanlah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK, kemudian dalam Revisi Undang-Undang a quo memberikan kewenangan SP3 terhadap KPK untuk menghentikan penyidikan dalam Pasal 40 ayat (1) yang menjelaskan: “Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun.”

Berikut latar belakang dan pertimbangan diberikannya kewenangan untuk menerbitkan SP3 oleh pembentuk undang-undang terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan Naskah Akademik RUU KPK:

  1. Kepastian Hukum

Bahwa dengan tidak adanya pasal yang mengatur tentang SP3 di KPK, seseorang dapat menyandang status sebagai tersangka selama bertahun-tahun, bahkan selama bertahun-tahun juga orang tersebut dapat dihitung baru beberapa kali diperiksa sebagai tersangka. Hal ini mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum bagi orang tersebut, padahal berdasarkan Pasal 5 huruf a Undang-Undang KPK Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menyatakan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK berasaskan pada Kepastian Hukum.

  1. Asas Presumption of innocence (praduga tidak bersalah)

Bahwa dengan tidak adanya kewenangan SP3 di KPK, melanggar asas presumption of innocence (praduga tidak bersalah) karena tidak adanya mekanisme penghentian penyidikan, sehingga secara tidak langsung penyidikan akan berlanjut pada penuntutan walaupun tidak diketahui sampai kapan batas waktunya seseorang menjadi tersangka. Seperti kasus, Hadi Poernomo, Jero Wacik, dan Lain-lain.

Kemudian secara filosofis latar belakang dirumuskannya kewenangan SP3 kepada KPK, yakni berangkat dari tujuan untuk mewujudkan masyarakat yang adil makmur dan sejahtera. Secara sosiologis Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan kehidupan ketatanegaraan, perkembangan hukum, dan kebutuhan masyarakat sehingga undang-undang tersebut perlu diubah. Hal ini adalah upaya memberikan memberikan kesetaraan kewenangan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.

Secara yuridis ketentuan Pasal 40 mengenai tidak dimilikinya kewenangan SP3 oleh KPK sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 sudah tidak sesuai lagi dengan kehidupan ketatanegaraan, perkembangan hukum, dan kebutuhan masyarakat.

Tags:

Berita Terkait