Tchaikovsky itu Bernama Supriyadi, Sang Komponis di Kalangan Aktivis
Kolom

Tchaikovsky itu Bernama Supriyadi, Sang Komponis di Kalangan Aktivis

​​​​​​​Jiwa komponis Supi, tergambarkan dengan jelas ketika ia memoderasi puluhan jaringan LSM dengan latar belakang fokus isu hukum dan HAM yang berbeda satu sama lain, termasuk pola dan metode advokasinya.

Bacaan 2 Menit

 

Hukumonline.com

Supriyadi Widodo Eddyono. Sumber: ICJR

 

Komponis di Kalangan Aktivis

Seorang komponis, mampu menciptakan sebuah mahakarya musik, bukan hanya membuat lagu, tapi juga mengaransemen, menulis komposisi musik instrumental maupun vokal dalam berbagai format solo, duo, trio, quartet, kelompok paduan suara bahkan juga orkestra, secara kompleks, terstruktur dan komprehensif, namun dapat dimainkan oleh orang lain.

 

Supi telah memainkan perannya sebagai seorang Komponis di kalangan aktivis LSM, pegiat reformasi hukum dan HAM. Paling tidak itu yang Saya lihat ketika terlibat dalam advokasi kebijakan Revisi KUHP bersama Aliansi Nasional R-KUHP. Kebijakan tentang pidana yang revisinya “mangkrak” selama lebih dari 30 tahun, melebihi mangkrak-nya proyek pembangunan pemerintah yang dikorupsi.

 

Jiwa komponis Supi, tergambarkan dengan jelas ketika ia memoderasi puluhan jaringan LSM dengan latar belakang fokus isu hukum dan HAM yang berbeda satu sama lain, termasuk pola dan metode advokasinya, bahkan, celakanya, Supi juga dihadapkan pada situasi kronis berupa minimnya pemahaman mengenai interdependensi isu HAM.

 

Demikian adanya, mengingat rezim Rancangan KUHP saat ini, bersifat “serakah” karena memasukkan seluruh ketentuan pidana dari berbagai sektor isu. Misalnya isu kesetaraan jender, kekerasan seksual serta perlindungan perempuan dan anak, yang jarang digeluti oleh LSM berpenampilan “maskulin”.

 

Atau sebut saja, isu penyadapan dan hukuman mati bagi koruptor oleh LSM antikorupsi yang kurang sejalan dengan LSM berbasis HAM murni. Dan terakhir, yang begitu membahana dan penuh pertentangan –bahkan di kalangan aktivis sendiri-, adalah advokasi isu LGBT dan Qanun Jinayat di Aceh.

 

Supi -dan tentunya dengan ICJR, lembaga di mana ia berkarya-, mampu menguliti isu-isu spesifik dalam kajian-kajian yang apik berbasis data dan analisis “tingkat dewa”, lalu mengorkestrasikan strategi dan taktik advokasi secara beriringan dan mendapatkan dukungan solid dan holistik dari jaringan LSM tanpa terpecah belah.

 

Isu aborsi, anti-kontrasepsi, telah sejajar jika disandingkan dengan isu populer seperti makar, terorisme, korupsi dan pencucian uang. Kesemuanya digarap Supi dan ICJR dalam bentuk penelitian ilmiah serta litigasi di pengadilan dan Mahkamah Konstitusi, dengan ritme yang harmonis dan merdu.

Tags:

Berita Terkait