Tantangan Mengharmonisasi Restorative Justice dalam Ius Constituendum Antar Penegak Hukum
Kolom

Tantangan Mengharmonisasi Restorative Justice dalam Ius Constituendum Antar Penegak Hukum

Keharusan para aparat penegak hukum menahan ego sektoral dalam penerapan restorative justice. Tumpang tindih penerapan restorative justice perlu segera dicarikan solusinya. Seperti proses penghentian perkara melalui restorative justice tidak lagi menggunakan SP3 maupun SKP2, tapi menggunakan penetapan hakim.

Bacaan 11 Menit

Nah, tantangan ke depan para aparat penegak hukum keharusan dapat menahan ego sektoral dalam penerapan restorative justice. Dengan begitu, tumpang tindih penerapan restorative justice perlu segera dicarikan solusinya. Sebagai jalan tengah, harapan ke depan (ius constituendum) proses penghentian perkara melalui restorative justice tidak lagi menggunakan SP3 maupun SKP2, tapi menggunakan Penetapan Hakim sebagai jalan tengah dan payung hukum penghentian perkara melalui keadilan restoratif.

Keselarasan ini penting guna menciptakan kepastian hukum beracara dan penerapan Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT). Perlu diketahui, SPPT merupakan sistem yang mampu menjaga keseimbangan perlindungan kepentingan, baik kepentingan negara, kepentingan masyarakat, maupun kepentingan individu, termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan dalam penyelesaian perkara keadilan restoratif.

Memedomani penjelasan Pasal 132 UU 1/2023 yaitu: “yang dimaksud dengan ‘penuntutan’ adalah proses peradilan yang dimulai dari penyidikan”, maka perlu menyiapkan desain kesatuan alur beracara penanganan perkara berdasarkan keadilan restoratif. Adapun alur beracara yang dapat digunakan antara lain penyidik menerbitkan SP3 hasil dari restorative justice dan disodorkan ke meja penuntut umum. Selanjutnya, penuntut umum mengajukan SP3 tersebut ke pengadilan untuk memperoleh penetapan hakim.

Demikian pula SKP2 hasil dari pendekatan keadilan restoratif yang diterbitkan penuntut umum diajukan ke pengadilan untuk memperoleh penetapan hakim. Permintaan penetapan hakim oleh penuntut umum dilandasi lantaran sejatinya penerapan pendekatan restorative justice khususnya di tahap penyidikan merupakan satu rangkaian proses dalam penuntutan yang tidak dapat dipisahkan dan dikotomikan.

Dokumen SP3 dan SKP2 hasil penanganan perkara dengan pendekatan restorative justice  yang telah mendapatkan penetapan hakim bersifat final dan bukan termasuk objek praperadilan. Apabila tersangka atau terdakwa kemudian mengulangi tindak pidananya, maka tindak pidana tersebut terhitung sebagai pengulangan tindak pidana. Terhadap pengulangan tindak pidana, tentunya tidak dapat dilakukan penyelesaian perkara secara keadilan restoratif kembali.

Anggaran dan arah pedoman pemidanaan

Hal lain yang perlu diperhatikan soal anggaran pemerintah untuk pelaksanaan restorative justice. Setidaknya anggaran restorative justice harus disamakan tiap institusi penegak hukum. Tujuannya, agar menghindari perebutan restorative justice sebagai salah satu parameter usulan kenaikan anggaran institusi penegak hukum.

Penggunaan anggaran,  harus pula menyediakan sistem pelaporan atau registrasi restorative justice yang terkoneksi dan terintegrasi antara penyelidik/penyidik, penuntut umum, dan hakim. Kedua hal tersebut amat penting, sebab  keberhasilan pelaksanaan restorative justice merupakan hasil dari sistem penegakan hukum yang terpadu yang terintegrasi, dan bukan keberhasilan per-sektoral.  

Berdasarkan ketentuan dalam UU 1/2023, arah tujuan dan pedoman pemidanaan tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia. Bahkan bukan pula pembalasan yang mengedepankan legalitas-formil. Tapi malah mengedepankan kaedah keadilan restoratif dan kemanfaatan hukum. Oleh karena itu, mengingat pentingnya filosofi tersebut untuk dituangkan ke dalam sebuah peraturan hukum.

Makanya menjadi amat tepat UU 1/2023 menetapkan salah satu kondisi yang dapat menyebabkan gugurnya penuntutan yakni telah adanya penyelesaian perkara dilakukan di luar proses peradilan sebagaimana tertuang dalam Pasal 132 ayat (1) huruf g UU 1/2023. Kemudian, kaidah restorative justice pun tertuang dalam Pasal 70  ayat (1) UU 1/2023.

Setidaknya terdapat 15 persyaratan suatu pidana agar sedapat mungkin tidak dijatuhkan pemenjaraan jika ditemukan  beberapa keadaan. Antara lain terdakwa adalah Anak; terdakwa berumur di atas 75 tahun; terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana; kerugian dan penderitaan korban tidak terlalu besar; terdakwa telah membayar ganti rugi kepada korban; terdakwa tidak menyadari bahwa tindak pidana yang dilakukan akan menimbulkan kerugian yang besar; tindak pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain; korban tindak pidana mendorong atau menggerakkan terjadinya tindak pidana tersebut.

Kemudian tindak pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan yang tidak mungkin terulang lagi; kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan tindak pidana yang lain; pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau keluarganya; pembinaan di luar lembaga pemasyarakatan diperkirakan akan berhasil untuk diri terdakwa; penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat berat tindak pidana yang dilakukan terdakwa; tindak pidana terjadi di kalangan keluarga; dan/ atau tindak pidana terjadi karena kealpaan.

Disamping mengatur syarat materiil penerapan restorative justice, Pasal 70 ayat (2) UU 1/2023 turut mengatur pengecualian. Dengan demikian, dalam kondisi atau keadaan tertentu tidak dapat diterapkan restorative justice. Yakni tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih; tindak pidana yang diancam dengan pidana minimum khusus; tindak pidana tertentu yang sangat membahayakan atau merugikan masyarakat; atau tindak pidana yang merugikan keuangan atau perekonomian negara.

Satu hal menarik terkait rumusan norma Pasal 70 UU 1/2023 adalah tidak perlu pemidanaan penjara untuk perkara tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 5 tahun. Pemidanaan non- penjara atau pengganti penjara tersebut dapat diganti dengan Pidana Denda (Pasal 71),  Pidana Pengawasan (Pasal 75), dan Pidana Kerja Sosial (Pasal 85).

Tujuan pemidanaan

Prinsipnya, hakim memiliki pilihan menjatuhkan salah satu pidana yang bersifat alternatif. Tapi, dalam memilih pilihan sanksi pidana yang diberikan, hakim berorientasi pada tujuan pemidanaan. Yakni dengan terlebih dulu atau mengutamakan jenis pidana yang lebih ringan jika hal tersebut telah memenuhi tujuan pemidanaan. Pidana tutupan, pidana pengawasan, dan pidana kerja sosial pada dasarnya merupakan suatu model pelaksanaan pidana sebagai alternatif dari pidana penjara.

Pencantuman jenis pidana merupakan konsekuensi diterimanya hukum pidana yang memperhatikan keseimbangan kepentingan antara perbuatan dan keadaan pelaku tindak pidana untuk mengembangkan alternatif selain pidana penjara. Melalui penjatuhan jenis pidana, terpidana dapat dibebaskan dari rasa bersalah, dan masyarakat dapat berperan serta secara aktif untuk memasyarakatkan terpidana dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat. Misalnya, penjatuhan pidana berupa pidana kerja sosial.

Harapan ke depannya (ius constituendum) agar tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 5 tahun sedapat mungkin diselesaikan melalui mekanisme restorative justice di tahap penyidikan dan/atau penuntutan. Nah, pasca terjadinya kesepakatan perdamaian di tingkat penyidikan atau penuntutan, namun pelaku dinilai perlu mendapatkan sanksi denda, pengawasan, dan kerja sosial,  penuntut umum dapat meminta penetapan hakim terhadap pemberian jenis sanksi-saksi tersebut kepada pelaku. Hal ini merupakan langkah non penal atau meminimalisir adanya proses persidangan sebagai implementasi dari keadilan restoratif.

Jika dalam menegakan hukum dan keadilan terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan. Hukum tidak betul-betul memiliki bentuk yang bulat atau kotak Namun bakal selalu bergerak mengikuti dinamika praktik di masyarakat. Oleh karena itu, aturan pelaksanaan keadilan restoratif yang bakal disusun ke depannya harus bersandar perkembangan kehidupan hukum bermasyarakat.

Kemudian penerapan asas-asas hukum yang berlaku secara universal dan berpatokan UU 1/2023 sebagai umbrella law hukum pidana materiil dengan mengedepankan aspek keadilan, kemanfaatan, baru kepastian hukum, keselarasan norma dalam setiap tahapan peradilan. Serta mempertimbangkan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, asas pidana sebagai upaya terakhir, dan cost and benefit analysis.

 

*)Prof. Dr. Reda Manthovani, S.H., LL.M adalah Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Pancasila

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait