Tantangan Mengharmonisasi Restorative Justice dalam Ius Constituendum Antar Penegak Hukum
Kolom

Tantangan Mengharmonisasi Restorative Justice dalam Ius Constituendum Antar Penegak Hukum

Keharusan para aparat penegak hukum menahan ego sektoral dalam penerapan restorative justice. Tumpang tindih penerapan restorative justice perlu segera dicarikan solusinya. Seperti proses penghentian perkara melalui restorative justice tidak lagi menggunakan SP3 maupun SKP2, tapi menggunakan penetapan hakim.

Bacaan 11 Menit
Prof. Dr. Reda Manthovani, S.H., LL.M . Foto: RES
Prof. Dr. Reda Manthovani, S.H., LL.M . Foto: RES

Sejatinya penggunaan instrumen hukum pidana sebagai upaya terakhir alias ultimum remedium dalam penyelesaian sengketa di tengah masyarakat. Tapi, itu pun dapat dilakukan sepanjang alternatif hukum lainnya telah ditempuh atau bahkan dipandang tidak tepat. Seperti hukum keperdataan maupun hukum administratif.

Dalam perkembangannya, doktrinasi ultimum remedium bergeser menjadi  keadilan restoratif atau restorative justice. Buktinya, institusi penegak hukum mengimplementasikan keadilan restoratif terhadap beberapa jenis tindak pidana. Ya, tentu dalam penyelesaiannya melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak terkait. Keharusan melibatkan sejumlah pihak dalam rangka bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.

Setidaknya dalam dua tahun terakhir, penyelesaian perkara melalui pendekatan keadilan restoratif oleh institusi penegak hukum cenderung meningkat. Kejaksaan misalnya, mengutip Hukumonline per 2 Januari 2024, setidaknya sepanjang periode 2023 Kejaksaan berhasil menyelesaikan 2.407 perkara. Sementara di periode 2022 sebanyak 1.456 perkara mampu diselesaikan melalui pendekatan restorative justice.

Sedangkan Polri mengacu pada rilis laporan akhir tahun 2023, sebanyak 18.175 perkara berhasil diselesaikan melalui pendekatan keadilan restoratif. Penyelesaian perkara di periode 2023 lebih besar dibanding periode 2022 menyentuh angka 15.809 perkara atau meningkat 15 persen.

Baca juga:

Sementara Mahkamah Agung, mengacu laporan tahunan 2023 setidaknya berhasil menyelesaikan diversi perkara anak sebanyak 464 perkara. Angka tersebut jauh lebih besar dibandingkan pada periode 2022 yang hanya sebesar 27 perkara. Boleh dibilang, institusi penegak hukum dalam penyelesaian perkara menggunakan pendekatan restorative justice mengalami peningkatan.

Restorative justice, sedianya pengembangan dari sistem peradilan pidana yang merespons kebutuhan hukum dalam masyarakat yang menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula. Berbicara pada tingkat internasional, penerapan keadilan restoratif diatur dalam Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 14 Tahun 2020 tentang Prinsip-Prinsip Dasar Program Keadilan Restoratif dalam Masalah-Masalah Pidana.

Dalam tataran nasional, awalnya restorative justice pertama kali diatur dalam UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang diundangkan sejak tanggal 30 Juli 2012 dan mulai berlaku efektif pada tanggal 1 Juni 2014. Nah, peruntukkan UU 11/2012 dikhususkan bagi peradilan pidana anak dengan filosofi anak tidak untuk dihukum.  

Melihat praktik penerapan restorative justice pada sistem peradilan anak, pemerintah mengakomodirnya ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), khususnya di RPJMN 2020-2024. Penerapan restorative justice pun dituangkan dalam desain Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 dalam rangka menyongsong Indonesia Emas.

Dituangkannya restorative justice ke dalam RPJMN dan RPJPN mendorong Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung (MA) sebagai sub sistem dari sistem peradilan pidana berlomba-lomba menerapkan sistem keadilan restoratif.

Penerapan restorative justice yang beragam

Pertama, Kepolisian menerapkan restorative justice berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Perkap) No. 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif yang diberlakukan sejak 20 Agustus 2021. Merujuk konsideran menimbang dalam Perkap 8/2021 menyebutkan dasar penerapan restorative justice di tingkat penyidikan merupakan implementasi melaksanakan rumusan norma Pasal 16 dan 18 UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 16 dan Pasal 18 UU 2/2002 intinya, dalam menyelenggarakan tugasnya di bidang pidana, Polri berwenang untuk mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab serta untuk kepentingan umum polisi dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.

Merujuk Pasal 5 Perkap 8/2021, terdapat 6 butir persyaratan materiil untuk dapat dilakukan restorative justice. Keenam butir itu antara lain, tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat; tidak berdampak konflik sosial; tidak berpotensi memecah belah bangsa; tidak bersifat radikalisme dan separatisme;bukan pelaku pengulangan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan; dan bukan tindak pidana terorisme, tindak pidana terhadap keamanan negara, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana terhadap nyawa orang.

Kendati demikian, Perkap 8/2021 turut menetapkan beberapa tindak pidana yang tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme restorative justice. Seperti menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat, berdampak konflik sosial, dan berpotensi memecah belah bangsa. Selain itu, restorative justice tidak diberlakukan untuk  beberapa jenis tindak pidana.

Seperti jenis tindak pidana yang bersifat radikalisme dan separatisme, tindak pidana terorisme, keamanan negara, serta korupsi. Kemudian tindak pidana terhadap nyawa orang, dan pelaku tindak pidana termasuk pengulangan tindak pidana (residivis) berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Keberhasilan penghentian perkara berdasarkan keadilan restoratif di Kepolisian berbagai hasilnya dituangkan melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau SP3.

Kedua, Kejaksaan menerbitkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia (Perja) No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, pada 22 Juli 2020. Beleid itu secara expressive verbis menjadi rujukan penerapan keadilan restoratif sebagai pendekatan modern dalam penyelesaian perkara tindak pidana.

Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif merupakan suatu bentuk diskresi penuntutan (prosecutorial discretionary) penuntut umum yang sekaligus merupakan pengejawantahan asas Dominus Litis (Reda Manthovani, dkk Membedah UU Kejaksaan, 2022:102). Diskresi penuntutan terdapat dalam Pasal 139 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang menyebutkan, “Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera, menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan”.

Frasa ‘menentukan’ merupakan dasar hukum dari diskresi penuntutan. Nah, diskresi penuntutan bakal melihat dan menyeimbangkan antara aturan yang berlaku (rechtmatigheid) dengan interpretasi yang bertumpu pada tujuan atau asas kemanfaatan (doelmatigheid) ketika suatu perkara dihentikan penuntutannya atau dilanjutkan ke pengadilan. Setidaknya, diskresi tersebut diharapkan bakal memiliki dampak yang dapat menghadirkan keadilan secara lebih dekat serta memberikan kemanfaatan bagi seluruh pihak.

Pelaksanaan restorative justice oleh institusi Kejaksaan berangkat dari asas dominus litis dan amanat dari Pasal 139 KUHAP tentang diskresi penuntutan. Berkaitan korelasi penuntutan dan pelaksanaan restorative justice, Pasal 132 ayat 1 huruf g UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tegas mengatur kewenangan penuntutan dinyatakan gugur jika: “telah ada penyelesaian di luar proses peradilan sebagaimana diatur dalam undang-undang”. Memedomani Pasal 12 ayat (9) Peraturan Kejaksaan No. 15 Tahun 2020 tentang , untuk penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif berbagai hasilnya dituangkan melalui Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2).

Ketiga, MA melalui Pasal 6 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif menetapkan 5 (lima) butir persyaratan materiil yang harus diperhatikan  hakim dalam menerapkan RJ. Pertama,   tindak pidana yang dilakukan merupakan tindak pidana ringan atau kerugian Korban bernilai tidak lebih dari Rp2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah) atau tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat.

Kedua, tindak pidana merupakan delik aduan. Ketiga, tindak pidana dengan ancaman hukuman maksimal 5 (lima) tahun penjara dalam salah satu dakwaan, termasuk tindak pidana jinayat menurut qanun. Keempat, tindak pidana dengan pelaku Anak yang diversinya tidak berhasil. Kelima, tindak pidana lalu lintas yang berupa kejahatan.

Disamping persyaratan diatas, Pasal 6 ayat (2) Perma 1/2024 turut mengatur dalam keadaan tertentu Hakim tidak berwenang mengadili perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif. Yakni,  korban atau terdakwa menolak untuk melakukan perdamaian; terdapat relasi kuasa; atau terdakwa mengulangi tindak pidana sejenis dalam kurun waktu 3 tahun sejak terdakwa selesai menjalani putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. 

Penerapan keadilan restoratif di masing-masing institusi penegak hukum setidaknya dapat disimpulkan sebagai berikut, penghentian perkara berdasarkan keadilan restoratif dituangkan melalui mekanisme yang sudah diatur dalam ketentuan internal. Seperti Kejaksaan, penghentian perkara berdasarkan keadilan restoratif seperti dituangkan melalui SKP2. Sementara penghentian perkara di Kepolisian melalui SP3. Sementara di kehakiman melalui putusannya.

Jalan tengah beragamnya penerapan restorative justice

Penyelesaian perkara pidana melalui keadilan restoratif pada tahap penyelidikan/penyidikan ataupun penuntutan bukan tidak mungkin tidak diketahui oleh pengadilan setempat. Padahal langkah tersebut menjadi amat penting bagi hakim untuk memastikan seseorang pernah terlibat tindak pidana atau tidak dalam rangka perlu tidaknya menyelesaikan suatu perkara berdasarkan keadilan restoratif ketika mengadili suatu perkara.

Hal tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf c Perma 1/2024 yang menyebutkan, “Hakim tidak berwenang menerapkan pedoman mengadili perkara pidana berdasarkan Keadilan Restoratif dalam hal: ...c. Terdakwa mengulangi tindak pidana sejenis dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun sejak Terdakwa selesai menjalani putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”.      

Potensi ketidaktahuan pengadilan/hakim apakah seseorang pelaku pernah atau tidak terlibat tindak pidana terutama yang diselesaikan melalui restorative justice atau memastikan seorang  telah sepenuhnya menjalani hukuman pidana berdasarkan kekuatan hukum tetap. Hal itu setidaknya terlihat dalam mekanisme pelaporan pelaksanaan penyelesaian perkara melalui restorative justice pada Kepolisian dan Kejaksaan.

Di Kepolisian  misalnya, dokumen SP3 dimasukkan ke dalam sistem elektronik manajemen penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf g Perkapolri 8/2021. Begitupun di Kejaksaan, berdasarkan Pasal 12 ayat (9) Perja 15/2020 setiap dokumen SKP2 dicatat dalam buku register perkara tahap penuntutan dan register penghentian penuntutan dan penyampingan perkara demi kepentingan umum.

Dengan kondisi seperti itu, boleh dibilang pencatatan perkara tersebut hanya bersifat internal atau administrasi bagi masing-masing instansi penegak hukum. Hal ini terjadi dikarenakan belum adanya mekanisme yang selaras dalam penyusunan hukum acara pelaksanaan restorative justice. Dengan begitu, dalam penerapannya bersifat sektoral sesuai tugas dan fungsi masing-masing.

Nah, tantangan ke depan para aparat penegak hukum keharusan dapat menahan ego sektoral dalam penerapan restorative justice. Dengan begitu, tumpang tindih penerapan restorative justice perlu segera dicarikan solusinya. Sebagai jalan tengah, harapan ke depan (ius constituendum) proses penghentian perkara melalui restorative justice tidak lagi menggunakan SP3 maupun SKP2, tapi menggunakan Penetapan Hakim sebagai jalan tengah dan payung hukum penghentian perkara melalui keadilan restoratif.

Keselarasan ini penting guna menciptakan kepastian hukum beracara dan penerapan Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT). Perlu diketahui, SPPT merupakan sistem yang mampu menjaga keseimbangan perlindungan kepentingan, baik kepentingan negara, kepentingan masyarakat, maupun kepentingan individu, termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan dalam penyelesaian perkara keadilan restoratif.

Memedomani penjelasan Pasal 132 UU 1/2023 yaitu: “yang dimaksud dengan ‘penuntutan’ adalah proses peradilan yang dimulai dari penyidikan”, maka perlu menyiapkan desain kesatuan alur beracara penanganan perkara berdasarkan keadilan restoratif. Adapun alur beracara yang dapat digunakan antara lain penyidik menerbitkan SP3 hasil dari restorative justice dan disodorkan ke meja penuntut umum. Selanjutnya, penuntut umum mengajukan SP3 tersebut ke pengadilan untuk memperoleh penetapan hakim.

Demikian pula SKP2 hasil dari pendekatan keadilan restoratif yang diterbitkan penuntut umum diajukan ke pengadilan untuk memperoleh penetapan hakim. Permintaan penetapan hakim oleh penuntut umum dilandasi lantaran sejatinya penerapan pendekatan restorative justice khususnya di tahap penyidikan merupakan satu rangkaian proses dalam penuntutan yang tidak dapat dipisahkan dan dikotomikan.

Dokumen SP3 dan SKP2 hasil penanganan perkara dengan pendekatan restorative justice  yang telah mendapatkan penetapan hakim bersifat final dan bukan termasuk objek praperadilan. Apabila tersangka atau terdakwa kemudian mengulangi tindak pidananya, maka tindak pidana tersebut terhitung sebagai pengulangan tindak pidana. Terhadap pengulangan tindak pidana, tentunya tidak dapat dilakukan penyelesaian perkara secara keadilan restoratif kembali.

Anggaran dan arah pedoman pemidanaan

Hal lain yang perlu diperhatikan soal anggaran pemerintah untuk pelaksanaan restorative justice. Setidaknya anggaran restorative justice harus disamakan tiap institusi penegak hukum. Tujuannya, agar menghindari perebutan restorative justice sebagai salah satu parameter usulan kenaikan anggaran institusi penegak hukum.

Penggunaan anggaran,  harus pula menyediakan sistem pelaporan atau registrasi restorative justice yang terkoneksi dan terintegrasi antara penyelidik/penyidik, penuntut umum, dan hakim. Kedua hal tersebut amat penting, sebab  keberhasilan pelaksanaan restorative justice merupakan hasil dari sistem penegakan hukum yang terpadu yang terintegrasi, dan bukan keberhasilan per-sektoral.  

Berdasarkan ketentuan dalam UU 1/2023, arah tujuan dan pedoman pemidanaan tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia. Bahkan bukan pula pembalasan yang mengedepankan legalitas-formil. Tapi malah mengedepankan kaedah keadilan restoratif dan kemanfaatan hukum. Oleh karena itu, mengingat pentingnya filosofi tersebut untuk dituangkan ke dalam sebuah peraturan hukum.

Makanya menjadi amat tepat UU 1/2023 menetapkan salah satu kondisi yang dapat menyebabkan gugurnya penuntutan yakni telah adanya penyelesaian perkara dilakukan di luar proses peradilan sebagaimana tertuang dalam Pasal 132 ayat (1) huruf g UU 1/2023. Kemudian, kaidah restorative justice pun tertuang dalam Pasal 70  ayat (1) UU 1/2023.

Setidaknya terdapat 15 persyaratan suatu pidana agar sedapat mungkin tidak dijatuhkan pemenjaraan jika ditemukan  beberapa keadaan. Antara lain terdakwa adalah Anak; terdakwa berumur di atas 75 tahun; terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana; kerugian dan penderitaan korban tidak terlalu besar; terdakwa telah membayar ganti rugi kepada korban; terdakwa tidak menyadari bahwa tindak pidana yang dilakukan akan menimbulkan kerugian yang besar; tindak pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain; korban tindak pidana mendorong atau menggerakkan terjadinya tindak pidana tersebut.

Kemudian tindak pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan yang tidak mungkin terulang lagi; kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan tindak pidana yang lain; pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau keluarganya; pembinaan di luar lembaga pemasyarakatan diperkirakan akan berhasil untuk diri terdakwa; penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat berat tindak pidana yang dilakukan terdakwa; tindak pidana terjadi di kalangan keluarga; dan/ atau tindak pidana terjadi karena kealpaan.

Disamping mengatur syarat materiil penerapan restorative justice, Pasal 70 ayat (2) UU 1/2023 turut mengatur pengecualian. Dengan demikian, dalam kondisi atau keadaan tertentu tidak dapat diterapkan restorative justice. Yakni tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih; tindak pidana yang diancam dengan pidana minimum khusus; tindak pidana tertentu yang sangat membahayakan atau merugikan masyarakat; atau tindak pidana yang merugikan keuangan atau perekonomian negara.

Satu hal menarik terkait rumusan norma Pasal 70 UU 1/2023 adalah tidak perlu pemidanaan penjara untuk perkara tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 5 tahun. Pemidanaan non- penjara atau pengganti penjara tersebut dapat diganti dengan Pidana Denda (Pasal 71),  Pidana Pengawasan (Pasal 75), dan Pidana Kerja Sosial (Pasal 85).

Tujuan pemidanaan

Prinsipnya, hakim memiliki pilihan menjatuhkan salah satu pidana yang bersifat alternatif. Tapi, dalam memilih pilihan sanksi pidana yang diberikan, hakim berorientasi pada tujuan pemidanaan. Yakni dengan terlebih dulu atau mengutamakan jenis pidana yang lebih ringan jika hal tersebut telah memenuhi tujuan pemidanaan. Pidana tutupan, pidana pengawasan, dan pidana kerja sosial pada dasarnya merupakan suatu model pelaksanaan pidana sebagai alternatif dari pidana penjara.

Pencantuman jenis pidana merupakan konsekuensi diterimanya hukum pidana yang memperhatikan keseimbangan kepentingan antara perbuatan dan keadaan pelaku tindak pidana untuk mengembangkan alternatif selain pidana penjara. Melalui penjatuhan jenis pidana, terpidana dapat dibebaskan dari rasa bersalah, dan masyarakat dapat berperan serta secara aktif untuk memasyarakatkan terpidana dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat. Misalnya, penjatuhan pidana berupa pidana kerja sosial.

Harapan ke depannya (ius constituendum) agar tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 5 tahun sedapat mungkin diselesaikan melalui mekanisme restorative justice di tahap penyidikan dan/atau penuntutan. Nah, pasca terjadinya kesepakatan perdamaian di tingkat penyidikan atau penuntutan, namun pelaku dinilai perlu mendapatkan sanksi denda, pengawasan, dan kerja sosial,  penuntut umum dapat meminta penetapan hakim terhadap pemberian jenis sanksi-saksi tersebut kepada pelaku. Hal ini merupakan langkah non penal atau meminimalisir adanya proses persidangan sebagai implementasi dari keadilan restoratif.

Jika dalam menegakan hukum dan keadilan terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan. Hukum tidak betul-betul memiliki bentuk yang bulat atau kotak Namun bakal selalu bergerak mengikuti dinamika praktik di masyarakat. Oleh karena itu, aturan pelaksanaan keadilan restoratif yang bakal disusun ke depannya harus bersandar perkembangan kehidupan hukum bermasyarakat.

Kemudian penerapan asas-asas hukum yang berlaku secara universal dan berpatokan UU 1/2023 sebagai umbrella law hukum pidana materiil dengan mengedepankan aspek keadilan, kemanfaatan, baru kepastian hukum, keselarasan norma dalam setiap tahapan peradilan. Serta mempertimbangkan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, asas pidana sebagai upaya terakhir, dan cost and benefit analysis.

 

*)Prof. Dr. Reda Manthovani, S.H., LL.M adalah Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Pancasila

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait