Tantangan dan Kesiapan Lembaga Peradilan Indonesia dalam Hukum Privat Internasional
Utama

Tantangan dan Kesiapan Lembaga Peradilan Indonesia dalam Hukum Privat Internasional

Kesiapan hakim dalam menerima kasus-kasus hukum internasional menjadi tantangan yang signifikan bagi Mahkamah Agung, apalagi dalam konteks sumber daya manusia.

CR 33
Bacaan 4 Menit
Diskusi panel membahas soal Refleksi Pengembangan Hukum Privat Internasional di Indonesia dalam acara Konferensi Nasional: Indonesia dan Hukum Internasional di Kementian Luar Negeri Indoesia, Jakarta, Rabu (2/10). Foto: HFW
Diskusi panel membahas soal Refleksi Pengembangan Hukum Privat Internasional di Indonesia dalam acara Konferensi Nasional: Indonesia dan Hukum Internasional di Kementian Luar Negeri Indoesia, Jakarta, Rabu (2/10). Foto: HFW

Penting untuk kembali menekankan bahwa tugas utama lembaga peradilan adalah menerima, memeriksa, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan, sebelum mempertanyakan kesiapan lembaga peradilan di Indonesia dalam menghadapi berbagai persoalan yang mungkin muncul di meja pengadilan internasional.

Dalam konteks ini, lembaga peradilan bersifat pasif, menunggu perkara yang diajukan kepadanya. Jika ada persoalan hukum yang muncul, lembaga peradilan harus siap untuk menangani dan menyelesaikannya.

Ketua Kamar Perdata Mahkamah Agung, I Gusti Agung Sumanatha, mengatakan jika berbicara mengenai isu hukum perdata atau privat internasional, salah satu unsur kunci dalam konteks ini adalah keberadaan unsur asing. Unsur asing ini dapat beragam, misalnya, satu pihak adalah warga negara Indonesia, sedangkan pihak lainnya adalah warga negara asing, atau bahkan kedua belah pihak merupakan warga negara asing yang terlibat dalam hubungan hukum di wilayah Indonesia, atau berdasarkan pilihan hukum tertentu yang disepakati oleh para pihak.

Baca Juga:

“Dalam hubungan ini, maka pengadilan harus siap menunggu, menyelesaikan perkara itu, mengingatkan tentang 5 ayat 1 Undang-Undang Ketentuan Kekuasaan Kehakiman bahwa hakim harus mampu menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya dengan menggali, memperdomai nilai-nilai hukum yang ada pada masyarakat, dan itu tidak terbatas pada masyarakat,” kata Agung dalam acara Konferensi Nasional yang digagas oleh Kementerian Luar Negeri di Jakarta, Rabu (2/10).

Agung memberikan contoh bahwa Mahkamah Agung telah memberikan respons positif terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase yang telah dievaluasi setelah 25 tahun dan diubah melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2023. Salah satu hal penting dalam peraturan tersebut adalah pengakuan terhadap putusan arbitrase internasional, serta adanya mekanisme untuk melaksanakan keputusan tersebut.

“Jadi dalam hubungan ini, pengadilan mempunyai sikap untuk tetap menerima dan menyelesaikan setiap perkara yang mengandung unsur asing di dalamnya,” imbuhnya.

Tags:

Berita Terkait