Tanggung Jawab Bank atas Penipuan yang Dilakukan Karyawannya
Kolom

Tanggung Jawab Bank atas Penipuan yang Dilakukan Karyawannya

Perlunya suatu solusi dari OJK untuk mengatasi kekosongan hukum agar bank tetap bertanggung jawab atas perbuatan karyawannya.

Bacaan 2 Menit

 

Di Indonesia, hal tersebut diikuti oleh pasal 1 ayat (7), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan  (POJK) Nomor 18/POJK.03/2016 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, yakni: “Risiko Operasional adalah Risiko akibat ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya kejadian-kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional Bank.

 

Kejahatan dalam kasus bank BUMN di atas termasuk dalam risiko operasional, yang masuk ke dalam “Loss Event Types”, khususnya “Internal Fraud”. Adapun pengertiannya, “Losses due to acts of a type intended to defraud, misappropriate property or circumvent regulations, the law or company policy, excluding diversity/discrimination events, which involves at least one internal party.” (Paola Leone, Pasqualina Porretta dan Mario Vellella, 2018).

 

Meskipun bank telah menerapkan manajemen risiko, bank mengalami permasalahan yang datangnya dari internal bank. Faktanya, bank tetap tidak dapat terlepas dari risiko, termasuk risiko operasional. Pertanggungjawaban bank dapat dilihat dalam pasal 49 UU Perbankan yang menyebutkan Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja melakukan kejahatan seperti penggelapan atau penipuan.

 

Tentunya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menjadi pengawas perbankan harus memiliki peraturan yang komprehensif untuk melindungi nasabah bank, apabila kejahatan internal terjadi. Selama ini nasabah hanya dapat meminta ganti rugi melalui gugatan perbuatan melawan hukum di pengadilan. Seringkali, hakim menolak ganti rugi nasabah terhadap bank, karena penipuan yang dilakukan oleh karyawan bank dalam perkara pidananya wajib memiliki keputusan hakim yang tetap terlebih dahulu.

 

Pertanggungjawaban Direksi dan Karyawan Bank

Ketidakpercayaan nasabah karena “poor management” tidak hanya akan merugikan perseroan, tetapi juga merusak ekonomi global (Nicholas V. Vakkur dan Zulma J. Herrera, 2013). Perlunya suatu solusi dari OJK untuk mengatasi kekosongan hukum agar bank tetap bertanggung jawab atas perbuatan karyawannya.

 

Sesuai dengan pasal 1 angka (5), Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UU PT) yang menyebutkan: “Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.” Dalam hal ini, bank merupakan Perseroan Terbatas yang mengikuti peraturan UU PT. Oleh karenanya, direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan bank.

 

Dalam UU PT sudah jelas disebutkan bahwa direksi organ yang mewakili perseroan. Tanggung jawab direksi wajib memaksimalkan keuntungan pemegang saham. Adapun direksi diangkat dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Direksi tidak dapat dianggap karyawan perseroan. Pengangkatannya dalam RUPS dituangkan dalam akta notaris.

Tags:

Berita Terkait