​​​​​​​Tambal Sulam Defisit BPJS Kesehatan Selama 2018
Lipsus Akhir Tahun 2018:

​​​​​​​Tambal Sulam Defisit BPJS Kesehatan Selama 2018

​​​​​​​Selain mengucurkan dana cadangan Rp10,1 triliun pemerintah menerbitkan kebijakan yang mengalokasikan sebagian pajak rokok untuk menambal defisit BPJS Kesehatan.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Perdirjampelkes yang diterbitkan itu menuai protes dari berbagai kalangan. Ketua Komisi IX DPR, Dede Yusuf Macan Effendi, mengatakan dalam rapat dengar pendapat antara Komisi IX DPR dengan Menteri Kesehatan, Wakil Menteri Keuangan, dan DJSN beberapa waktu silam sepakat agar 3 Perdirjampelkes itu dicabut. Pengaturan manfaat itu hanya boleh dilakukan oleh peraturan yang tingkatnya lebih tinggi daripada Perdir.

 

Ketua DJSN, Sigit Priohutomo, mengatakan banyak pihak yang sudah meminta BPJS Kesehatan untuk tidak melaksanakan Perdirjampelkes itu. Misalnya, Kementerian Kesehatan meminta BPJS Kesehatan menunda pelaksanaan Perdirjampelkes itu, DJSN dan DPR meminta untuk dicabut. “Sayangnya permintaan itu tidak diindahkan, Perdirjampelkes tetap berjalan,” urainya.

 

Kelompok dokter yang tergabung dalam Perkumpulan Dokter Indonesia Bersatu (PDIB) mengajukan gugatan uji materiil terhadap ketiga Perdirjampelkes itu ke Mahkamah Agung (MA). Dalam gugatan itu PDIB menilai Perdirjampelkes telah mereduksi dan mengintervensi tindakan dokter dalam bentuk pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh dokter. Harusnya itu tidak dilakukan oleh Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan karena bertentangan dengan sumpah dan kode etik kedokteran Indonesia.

 

Selain kode etik kedokteran, Perdirjampelkes itu dinilai bertentangan dengan sejumlah peraturan antara lain pasal 24 ayat (3) UU No.40 Tahun 2004 tentang SJSN, pasal 2 UU No.24 Tahun 2011 tentang BPJS, dan pasal 5 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Kemudian pasal 2, 3, 20 Peraturan Presiden (Perpres) No.12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan yang telah diubah beberapa kali dan terakhir diganti dengan Perpres No.82 Tahun 2018.

 

Selanjutnya Perdirjampelkes itu dianggap melanggar pasal 25 Perpres No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan Perpres No.12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Ketentuan itu mengatur 17 jenis pelayanan yang tidak dijamin JKN. Dari 17 ketentuan itu tidak satu pun menyebut jenis pelayanan yang ada dalam Perdirjampelkes tersebut. Oleh karenanya dalam gugatan itu PDIB memohon majelis untuk menyatakan ketiga Perdirjampelkes itu bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Serta menyatakan ketiga peraturan itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

 

Majelis Mahkamah Agung (MA) memutus ketiga perkara itu 18 Oktober 2018. Dalam pertimbangan putusan, majelis MA menilai, bentuk dan materi Perdirjampelkes yang menjadi objek permohonan keberatan uji materiil itu termasuk kategori peraturan perundang-undangan di bawah UU karena formatnya mengikuti apa yang ditentukan UU No.12 Tahun 11 yakni berupa peraturan yang bersifat umum (regeling), yaitu mengatur hak peserta BPJS Kesehatan.

 

Ruang lingkup kewenangan yang dimaksud yakni terhadap pelayanan kesehatan sebagaimana diatur pasal 22 dan 25 Peraturan Presiden No.111 Tahun 2013. Dari segi pejabat yang menerbitkannya, majelis MA memandang Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan sebagai bagian dari BPJS Kesehatan secara kelembagaan (kolektif-kolegial). Kendati Perdirjampelkes itu diterbitkan dalam rangka melaksanakan wewenang BPJS Kesehatan sebagai badan hukum publik secara kolektif-kolegial, majelis MA berpendapat peraturan itu bukan diterbitkan oleh pejabat yang berwenang.

Tags:

Berita Terkait