Setidaknya ada 4 poin kunci dari muatan RPP E-commerce yang dipaparkannya, yakni tipe-tipe aktor bisnis (business actor) dalam e-Commerce, yurisdiksi transaksi e-Commerce, sertifikasi dan perizinan yang perlu dipenuhi serta ketentuan lainnya.
Terkait aktor bisnis, ada 3 tipe yang digolongkan dalam RPP Ecommerce, yakni seller (merchant); provider e-Commerce/Legal entity (PTPMSE) dan intermediary atau siapa saja dan dimana saja ia melakukan perdagangan elektronik seperti di media sosial (eg: instagram, facebook).
“Untuk seller dan intermediary berdasarkan Pasal 12 RPP e-Commerce bisa saja berupa individual maupun legal business entity, sedangkan PTPMSE harus dalam bentuk legal business entity,” jelas Ardhanti.
Persoalan batas pertanggungjawaban antara platform e-Commerce dengan seller dalam kaitannya dengan perlindungan konsumenjuga diatur. Misalnya, terkait barang palsu yang diperjual-belikan seller/merchant e-Commerce yang diberlakukan ketentuan take down atasiklan barang tersebut di platform masing-masing.
Soal take down itu, katanya, IdeA sebagai asosiasi e-Commerce menjadi partner pemerintah terkait permohonan take down dalam menyurati para pelaku E-commerce. “Jadi ketimbang harus menyurati satu-satu pelaku usaha, pemerintah bisa menyurati IdeA,” jelasnya.
Soal yurisdiksi transaksi dan ketentuan hukum yang berlaku dalam kaitannya dengan cross-border e-Commercediatur dalam Pasal 4, Pasal 13 s/d Pasal 14 RPP. Berdasarkan draft RPP, katanya, setiap e-Commerce yang melakukan bisnis di Indonesia dan targetnya secara sengaja adalah Indonesian customer, maka mereka dianggap telah melakukan bisnis di Indonesia. Efeknya, hukum dan peraturan yang berlaku bagi para pelaku e-Commerce tersebut adalah hukum Indonesia.
“Termasuk kalau ada sengketa hukum yang digunakan adalah hukum Indonesia dan dianggap berdomisili di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat,” katanya.