Tak Jamin Semua Jenis Penyakit, Perpres Jaminan Kesehatan ‘Digugat’ ke MA
Utama

Tak Jamin Semua Jenis Penyakit, Perpres Jaminan Kesehatan ‘Digugat’ ke MA

Pasal 52 ayat (1) huruf i dan j Perpres No.82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan sebagaimana diubah dengan Perpres No.64 Tahun 2020 dinilai bertentangan dengan sejumlah UU.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

“Ketentuan pasal 52 huruf i dan j Perpres 82/2018 seharusnya mengatur pelayanan yang berkaitan dengan selera dan perilaku peserta, bukan malah dikecualikan dari penjaminan,” kata dia.  

Ketiga, bertentangan dengan UU No.39 Tahun 1999 dan UU No.11 Tahun 2005, UU Kesehatan, dan UU SJSN terkait hak kesehatan tanpa diskriminasi. Keempat UU ini, menurut Baby mengatur jaminan hak atas kesehatan melalui penyelenggaraan pelayanan kesehatan tanpa diskriminasi. Namun, Pasal 52 ayat (1) huruf i dan j Perpres 82/2018 menyalahi ketentuan ini dengan menerapkan pengecualian penjaminan.

Keempat, bertentangan dengan pengaturan hak atas kesehatan orang dengan adiksi narkotika, psikotropika, dan zat adiktif dalam UU Kesehatan Jiwa. Baby menjelaskan Pasal 62 ayat (2) UU Kesehatan Jiwa mengatur tindakan medis atau pemberian obat psikofarmaka terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) ditanggung program SJSN.

“UU Kesehatan Jiwa juga menyebut masalah gangguan jiwa dapat timbul akibat adanya adiksi narkotika, psikotropika, zat adiktif. Pasal 52 ayat (1) huruf i dan j Perpres 82/2018 dapat membatasi ODGJ untuk mendapat obat psikofarmaka yang dijamin SJSN.”

Perlu menyasar pasal lain

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mendukung uji materi yang dilayangkan koalisi masyarakat sipil ini. Upaya ini penting guna meluruskan pola pikir pemerintah yang kerap menurunkan manfaat layanan kesehatan karena alasan defisit. Timboel mengusulkan agar permohonan ini juga menyasar Pasal 52 ayat (1) huruf r karena tidak menjamin pelayanan kesehatan akibat tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme, dan perdagangan orang.

Ketentuan ini menyebut berbagai pelayanan kesehatan itu ditanggung LPSK, tapi sampai sekarang pelaksanaannya tidak jelas. Akibatnya, korban akibat tindak pidana itu harus membayar sendiri biaya pelayanan kesehatannya. “Sebelum Perpres No.82 Tahun 2018 ini terbit ketentuan ini tidak ada, sehingga korban penganiayaan, kekerasan seksual, terorisme, dan perdagangan orang bisa ditanggung JKN,” kata Timboel.

Timboel mengingatkan agar permohonan uji materi ini juga menyasar aturan beberapa obat yang dikeluarkan dari formularium nasional yang tidak dijamin, seperti Bevatizumab dan Cetuzimab. Akibatnya, selama ini peserta harus membeli sendiri obat tersebut karena tidak dijamin JKN. Hal ini melanggar Pasal 22 ayat (1) UU SJSN yang menjamin penuh obat dalam program JKN.

Tags:

Berita Terkait