Tak Jamin Semua Jenis Penyakit, Perpres Jaminan Kesehatan ‘Digugat’ ke MA
Utama

Tak Jamin Semua Jenis Penyakit, Perpres Jaminan Kesehatan ‘Digugat’ ke MA

Pasal 52 ayat (1) huruf i dan j Perpres No.82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan sebagaimana diubah dengan Perpres No.64 Tahun 2020 dinilai bertentangan dengan sejumlah UU.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Gedung MA. Foto: RES
Gedung MA. Foto: RES

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan BPJS Kesehatan merupakan salah satu program pemerintah yang sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Namun demikian, program ini belum berjalan sesuai harapan karena tidak semua penyakit bisa dijamin pengobatannya. Beberapa kali program JKN ini “digugat” melalui uji materi ke Mahkamah Agung (MA). Gugatan terbaru dilayangkan Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Rumah Cemara, Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI), dan Organisasi Perubahan Sosial Indonesia.

Ketua IPPI Baby Ivona mengatakan permohonan uji materi sudah diajukan ICJR sebagai kuasa hukum pada Senin (10/8) dengan akta permohonan uji materi bernomor MA/PANMUDA.TUN/VIII/288/2020. Permohonan uji materi ini mempersoalkan Pasal 52 ayat (1) huruf i dan j Perpres No.82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan terkait layanan kesehatan yang tidak dijamin.  

Pasal itu dinilai bertentangan dengan sejumlah UU antara lain UU No.40 Tahun 2004 tentang SJSN; UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM; UU No.18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa; dan UU No.11 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR. “Kami minta ketentuan itu dicabut dari Perpres No.82 Tahun 2018 sebagaimana diubah melalui Perpres No.64 Tahun 2020,” kata Baby Iyona ketika dikonfirmasi, Kamis (13/8/2020). (Baca Juga: Alasan KPCDI Kembali Gugat Perpres Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan)

Selengkapnya, Pasal 52 ayat (1) huruf i dan j Perpres 82/2018 yang telah diperbarui lewat Perpres No.64 Tahun 2020 menyebutkan pelayanan kesehatan yang tidak dijamin meliputi: (i) gangguan kesehatan/penyakit akibat ketergantungan obat dan/atau alkohol; (j) gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri atau akibat melakukan hobi yang membahayakan diri sendiri.

Baby mengingatkan konstitusi menjamin hak atas jaminan sosial, salah satunya diwujudkan melalui program JKN. Sayangnya, program yang diluncurkan 1 Januari 2014 ini tidak menjamin seluruh jenis penyakit. Ada pengecualian untuk beberapa layanan sebagaimana diatur Pasal 26 UU No.40 Tahun 2004 tentang SJSN yang diatur lanjut dalam Pasal 52 Perpres 75 Tahun 2019 jo Perpres No.82 Tahun 2018. Pasal 26 UU SJSN ini intinya menyebut jenis-jenis pelayanan yang tidak dijamin akan diatur lebih lanjut dalam Perpres.

Menurut Baby, ketentuan Pasal 52 ayat (1) huruf i dan j Perpres 82/2018 ini bertentangan dengan 4 aturan. Pertama, bertentangan dengan definisi pelayanan kesehatan dalam UU SJSN dan UU Kesehatan. Jenis pelayanan yang tidak dijamin sebagaimana mandat Pasal 26 UU SJSN merujuk Pasal 22 UU SJSN yakni tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga medis berupa promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.    

UU Kesehatan menjelaskan pelayanan kesehatan adalah kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan dengan tujuannya masing-masing yakni promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Kedua, bertentangan dengan Pasal 22 ayat (2) UU SJSN yang mengatur tentang jenis pelayanan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan, peserta dikenakan urun biaya.

“Ketentuan pasal 52 huruf i dan j Perpres 82/2018 seharusnya mengatur pelayanan yang berkaitan dengan selera dan perilaku peserta, bukan malah dikecualikan dari penjaminan,” kata dia.  

Ketiga, bertentangan dengan UU No.39 Tahun 1999 dan UU No.11 Tahun 2005, UU Kesehatan, dan UU SJSN terkait hak kesehatan tanpa diskriminasi. Keempat UU ini, menurut Baby mengatur jaminan hak atas kesehatan melalui penyelenggaraan pelayanan kesehatan tanpa diskriminasi. Namun, Pasal 52 ayat (1) huruf i dan j Perpres 82/2018 menyalahi ketentuan ini dengan menerapkan pengecualian penjaminan.

Keempat, bertentangan dengan pengaturan hak atas kesehatan orang dengan adiksi narkotika, psikotropika, dan zat adiktif dalam UU Kesehatan Jiwa. Baby menjelaskan Pasal 62 ayat (2) UU Kesehatan Jiwa mengatur tindakan medis atau pemberian obat psikofarmaka terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) ditanggung program SJSN.

“UU Kesehatan Jiwa juga menyebut masalah gangguan jiwa dapat timbul akibat adanya adiksi narkotika, psikotropika, zat adiktif. Pasal 52 ayat (1) huruf i dan j Perpres 82/2018 dapat membatasi ODGJ untuk mendapat obat psikofarmaka yang dijamin SJSN.”

Perlu menyasar pasal lain

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mendukung uji materi yang dilayangkan koalisi masyarakat sipil ini. Upaya ini penting guna meluruskan pola pikir pemerintah yang kerap menurunkan manfaat layanan kesehatan karena alasan defisit. Timboel mengusulkan agar permohonan ini juga menyasar Pasal 52 ayat (1) huruf r karena tidak menjamin pelayanan kesehatan akibat tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme, dan perdagangan orang.

Ketentuan ini menyebut berbagai pelayanan kesehatan itu ditanggung LPSK, tapi sampai sekarang pelaksanaannya tidak jelas. Akibatnya, korban akibat tindak pidana itu harus membayar sendiri biaya pelayanan kesehatannya. “Sebelum Perpres No.82 Tahun 2018 ini terbit ketentuan ini tidak ada, sehingga korban penganiayaan, kekerasan seksual, terorisme, dan perdagangan orang bisa ditanggung JKN,” kata Timboel.

Timboel mengingatkan agar permohonan uji materi ini juga menyasar aturan beberapa obat yang dikeluarkan dari formularium nasional yang tidak dijamin, seperti Bevatizumab dan Cetuzimab. Akibatnya, selama ini peserta harus membeli sendiri obat tersebut karena tidak dijamin JKN. Hal ini melanggar Pasal 22 ayat (1) UU SJSN yang menjamin penuh obat dalam program JKN.

Tags:

Berita Terkait