Mencatatkan perkawinan bagi pasangan Indonesia yang menikah di luar negeri tidak bisa dianggap sepele apalagi diabaikan begitu saja. Implikasi perlindungan hukum atas sebuah pernikahan jelas tidak sederhana, sebut saja perihal harta bersama dan turunannya, aspek perceraian yang mungkin terjadi, pengakuan atas status anak pasca menikah, hak waris dan lainnya. Waspadalah karena perselingkuhan bisa terjadi dengan cara diam-diam menikah di luar negeri, namun pengakuan atas status pernikahan itu jelas bisa dipertanyakan.
Pertanyaannya beragam. Jika suatu pernikahan saja tidak mendapatkan pengakuan negara, bagaimana status anaknya juga bisa diakui? Bagaimana status harta yang dihasilkan selama pernikahan? apakah menjadi tak bisa dianggap sebagai harta bersama? Kurang lebih begitu logika kasarnya. Walaupun perjanjian kawin untuk memisahkan harta familiar dilakukan, tak sedikit juga pasangan yang ingin tetap status harta yang didapatkan masuk dalam scope harta bersama atas berbagai pertimbangan. Dalam kondisi itu, pengakuan atas status perkawinan menjadi sangat penting.
Satu-satunya cara agar perkawinan di luar negeri mendapat pengakuan adalah dengan mencatatkan atau mendaftarkan perkawinan tersebut kepada instansi yang berwenang di Negara Republik Indonesia. Digariskan dalam Pasal 56 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: “Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warga negara Indonesia atau seorang WNI dengan WNA adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan Undang-Undang ini”.
Ayat (2) pasal yang sama mengatur lebih lanjut: “Dalam waktu satu tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka”.