“Waktu kasus Panama Papers, Ditjen Pajak berjanji ingin meneliti semuanya, tapi janji itu tak bertepi dan tidak kelihatan hasilnya,” kata Yunus. Baca Juga: Jadi ‘Pemeran Utama’ dalam Panama Papers, Ini Klarifikasi Mossack Fonseca
Padahal, kata Yunus, sekurangnya ada sekitar seratusan Undang-Undang (UU) dapat digunakan untuk menjerat korporasi ‘nakal’ di Indonesia. Dengan menindak korporasi yang diduga melanggar hukum Indonesia tersebut diharapkan dapat mengusut kepemilikan aset hingga mengungkap pemilik sebenarnya.
Secara umum, perusahaan cangkang adalah sebuah perusahaan tanpa aktivitas bisnis atau aset signfikan. Perusahaan ini didirikan dalam rangka memulai bisnis rintisan, bahkan tidak jarang perusahaan cangkang tidak memiliki karyawan. Bila menilik dari aspek legalitasnya, perusahaan cangkang mendapat pengakuan hukum negara Indonesia.
Sebab, perusahaan cangkang dapat digolongkan dalam kategori korporasi berjenis Bentuk Usaha Tetap (BUT). Sehingga, pengertian mengenai perusahaan cangkang atau SPV dapat dilihat dalam UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
Pasal 2 ayat (5) UU 36/2008 BUT adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Bentuk Usaha Tetap (BUT) dapat berupa :
|
Perusahaan cangkang hulu migas
Salah satu industri yang sering menggunakan perusahaan cangkang dalam kegiatan bisnisnya yakni sektor hulu minyak dan gas bumi (migas). Hal ini diungkapkan Kepala Divisi Pertimbangan Hukum dan Formalitas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) dan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Didi Setiarto. Didi menyampaikan jumlah perusahaan cangkang industri hulu migas mencapai 400-an lebih entitas.
“Untuk di industri hulu dilaksanakan dan dikendalikan melalui kontrak kerja sama yang dilaksanakan badan usaha atau bentuk usaha tetap (BUT/SPV) pengoperasiannya,” kata Didi.
Dengan metode ini, lebih memudahkan pemerintah dalam memungut pajak dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S/kontraktor) terhadap jenis BUT sebagai operator produksi hulu migas. Pasalnya, hingga saat ini, aturan perpajakan di Indonesia hanya menentukan pajak penghasilan (PPh) sebagai pajak yang dikenakan pada pelaku usaha sektor migas yang umumnya berbentuk badan usaha BUT/SPV.