Perusahaan cangkang (shell company) belum lama ini menjadi istilah populer di Indonesia. Di tengah gencarnya pemerintah memburu aset triliun rupiah milik warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri untuk penerimaan perpajakan, dan fenomenalnya kasus Panama Papers yang membocorkan daftar perusahaan cangkang milik pejabat negara hingga pengusaha besar nasional memberi kesan negatif pada sektor bisnis ini.
Karenanya, perusahaan cangkang atau special purpose vehicle (SPV) kerap berhubungan dengan kegiatan bisnis yang potensial melanggar hukum, seperti penghindaran pajak, pencucian uang (money laundering) hingga penyembunyian/penyamaran dana hasil tindak pidana, seperti korupsi, narkotik dan bisnis ilegal lainnya. Para pelaku sengaja mendirikan perusahaan cangkang hanya untuk menutupi tindak kejahatannya tersebut.
Biasanya, perusahaan cangkang didirikan di negara-negara yang memberi jaminan tinggi data kerahasiaan dan tarif pajak rendah. Hukum negara-negara tersebut juga tidak mewajibkan pengungkapan pemilik perusahaan atau benefecial owner atas perusahaan/aset yang ditempatkan di wilayah tersebut. Beberapa negara yang sering disebut jadi tempat tumbuh suburnya perusahaan cangkang antara lain Cayman Islands, British Virgin Island, Panama, Bermuda, Bahama, Marshall Islands, dan Mauritius.
Dalam penghindaran kewajiban pajak, modusnya dengan cara mengalihkan laba perusahaan afiliasi di luar negeri kepada perusahaan cangkang (di dalam negeri). Cara ini untuk menutupi laba yang diperoleh perusahaan afiliasi tersebut. Artinya, pendirian perusahaan cangkang dilakukan untuk merekayasa atau memanipulasi laporan keuangan perusahaan afiliasi. Hal ini tentunya akan mengurangi nilai pajak perusahaan afiliasi tersebut setelah mengalihkan labanya pada perusahaan cangkang.
Modus hampir serupa juga dapat dilakukan pada tindak pidana lain seperti korupsi, money laundering, dan pendanaan terorisme. Terjadi pengalihan dana kepada perusahaan cangkang yang berada di luar yuridiksi Indonesia. Sayangnya, pemahaman penegak hukum di Indonesia mengenai tindak pidana terkait perusahaan cangkang masih rendah. Padahal, potensi kerugian negara akibat jenis kejahatan ini bernilai besar. Berbeda di negara lain, jika pejabat publik dan pengusaha besar tersangkut tindak pidana terkait perusahaan cangkang terpaksa harus mengundurkan diri.
“Di sini (Indonesia) dianggap biasa-biasa saja, padahal di negara lain misalnya Pakistan, menteri negaranya jatuh (dicopot) karena kasus ini (Panama Papers),” kata pengajar Hukum Perbankan Universitas Indonesia (UI), Yunus Husein dalam seminar bertajuk “Aspek legal dan Akibat Hukum Pendirian Special Purpose Vehicle” dalam serangkaian acara Dies Natalis Fakultas Hukum UI ke-94 di Depok, Rabu (3/10/2018).
Menurut Yunus, keseriusan pemerintah memburu aset-aset WNI di luar negeri yang disembunyikan dengan modus perusahaan cangkang diragukan. Dia mencontohkan saat pemerintah berjanji mengusut aset WNI di luar negeri setelah bocornya data pada kasus Panama Papers hingga saat ini hasilnya masih nihil. Padahal, data yang diungkap Panama Papers tersebut seharusnya menjadi rujukkan bagi aparat penegak hukum mengusut aset-aset WNI di luar negeri.
“Waktu kasus Panama Papers, Ditjen Pajak berjanji ingin meneliti semuanya, tapi janji itu tak bertepi dan tidak kelihatan hasilnya,” kata Yunus. Baca Juga: Jadi ‘Pemeran Utama’ dalam Panama Papers, Ini Klarifikasi Mossack Fonseca
Padahal, kata Yunus, sekurangnya ada sekitar seratusan Undang-Undang (UU) dapat digunakan untuk menjerat korporasi ‘nakal’ di Indonesia. Dengan menindak korporasi yang diduga melanggar hukum Indonesia tersebut diharapkan dapat mengusut kepemilikan aset hingga mengungkap pemilik sebenarnya.
Secara umum, perusahaan cangkang adalah sebuah perusahaan tanpa aktivitas bisnis atau aset signfikan. Perusahaan ini didirikan dalam rangka memulai bisnis rintisan, bahkan tidak jarang perusahaan cangkang tidak memiliki karyawan. Bila menilik dari aspek legalitasnya, perusahaan cangkang mendapat pengakuan hukum negara Indonesia.
Sebab, perusahaan cangkang dapat digolongkan dalam kategori korporasi berjenis Bentuk Usaha Tetap (BUT). Sehingga, pengertian mengenai perusahaan cangkang atau SPV dapat dilihat dalam UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
Pasal 2 ayat (5) UU 36/2008 BUT adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Bentuk Usaha Tetap (BUT) dapat berupa :
|
Perusahaan cangkang hulu migas
Salah satu industri yang sering menggunakan perusahaan cangkang dalam kegiatan bisnisnya yakni sektor hulu minyak dan gas bumi (migas). Hal ini diungkapkan Kepala Divisi Pertimbangan Hukum dan Formalitas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) dan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Didi Setiarto. Didi menyampaikan jumlah perusahaan cangkang industri hulu migas mencapai 400-an lebih entitas.
“Untuk di industri hulu dilaksanakan dan dikendalikan melalui kontrak kerja sama yang dilaksanakan badan usaha atau bentuk usaha tetap (BUT/SPV) pengoperasiannya,” kata Didi.
Dengan metode ini, lebih memudahkan pemerintah dalam memungut pajak dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S/kontraktor) terhadap jenis BUT sebagai operator produksi hulu migas. Pasalnya, hingga saat ini, aturan perpajakan di Indonesia hanya menentukan pajak penghasilan (PPh) sebagai pajak yang dikenakan pada pelaku usaha sektor migas yang umumnya berbentuk badan usaha BUT/SPV.