Silang Sengkarut Revisi UU MK
Kolom

Silang Sengkarut Revisi UU MK

Di tengah keterbatasan hukum acara, regulasi yang dihasilkan mengakibatkan sembilan Hakim Kontitusi benar-benar bertransformasi menjadi legislator bertoga.

Bacaan 6 Menit

Adanya hak konstitusionalitas para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;

Hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;

  1. Kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi;
  2. Adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
  3. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

Selain itu ada juga Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, Putusan Nomor 002/PUU-I/2003, Putusan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004, Putusan Nomor 008/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 013-021/PUU-III/2005. Beberapa putusan ini dijadikan dasar hukum bagi perkara yang diajukan lebih dari satu permohonan untuk digabungkan menjadi satu perkara. Kemudian terhadap pengujian konstitusionalitas yang dimohonkan oleh WNI dalam jabatannya sebagai anggota DPR juga mengacu kepada beberapa putusan, di antaranya:

  1. Putusan Nomor 23-26/PUU-VIII/2010: Apabila materi norma undang-undang yang dimohonkan menyangkut hak anggota DPR untuk menyatakan pendapat;
  2. Putusan Nomor 38/PUU-VIII/2010: Apabila materi norma undang-undang yang dimohonkan berkenaan dengan hak seseorang untuk menjadi wakil rakyat;
  3. Putusan Nomor 39/PUU-XI/2013: Apabila materi norma undang-undang yang dimohonkan berkaitan dengan berakhirnya masa jabatan anggota DPR;
  4. Putusan Nomor 93/PUU-XII/2014: Apabila materi norma undang-undang yang dimohonkan berupa mekanisme pemilihan pimpinan DPRD kabupaten/kota.

Lebih elok tentunya bilamana tujuh putusan yang dijadikan yurisprudensi di pangkal perkara konstitusionalitas itu turut diakomodir ke dalam revisi UU MK. Sebab legal standing merupakan pintu masuk bagi subjek hukum untuk dapat memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya.

Proporsionalitas

Sejatinya MK tidak dapat dipersalahkan akibat overlapping yang terjadi, karena merupakan kewajiban Hakim Konstitusi bersama peradilannya untuk mengakomodir kepentingan pencari keadilan. Di tengah keterbatasan hukum acara, regulasi yang dihasilkan mengakibatkan sembilan Hakim Kontitusi benar-benar bertransformasi menjadi legislator bertoga.

DPR-RI periode 1999-2004 terbilang progresif dengan mengantisipasi kemacetan tugas besar MK sebagai penyeimbang tarik-menarik legislatif dan eksekutif. Hanya saja momentum revisi UU MK seharusnya dimanfaatkan untuk merapikan overlapping tersebut. Dengan begitu pembentuk undang-undang setidaknya bisa cuci tangan dari perilaku politik dagang sapi, sekaligus menyelematkan marwah peradilan konstitusi dari isu politik transaksional.

Putusan MK yang mengecewakan atas pengujian revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja tidak mungkin terhindar dari stigma atas momentum dan pasal-pasal baru dalam revisi UU MK yang menguntungkan para hakimnya. Akibatnya, revisi tersebut bukan hanya mencederai sistem ketatanegaraan, pasal-pasal baru itu tak ubahnya benih kanker yang ditanam dalam tubuh peradilan konstitusi Indonesia. Alhasil, MK menjadi anak adopsi dari tatanan oligarki.

*)Ilhamdi Putra, Peneliti Pusat Kajian Bung Hatta Anti Korupsi (BHAKTI).

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait