Silang Sengkarut Revisi UU MK
Kolom

Silang Sengkarut Revisi UU MK

Di tengah keterbatasan hukum acara, regulasi yang dihasilkan mengakibatkan sembilan Hakim Kontitusi benar-benar bertransformasi menjadi legislator bertoga.

Bacaan 6 Menit
Ilhamdi Putra. Foto: Istimewa
Ilhamdi Putra. Foto: Istimewa

Tidak sulit menemukan fakta bahwa MK merupakan anak kandung reformasi, kelahirannya adalah bentuk upaya penyehatan sistem ketatanegaraan Indonesia. Sejak berdiri tahun 2003, begitu banyak perkembangan yang terjadi pada peradilan konstitusi tersebut, baik dari segi pengorganisasian lembaga yang sifatnya internal, hingga perkembangan kelembagaan negara melalui pembaruan alas hukum yang mengaturnya. Dalam rentang waktu yang sarat dengan dinamika itu, perubahan undang-undang MK sangat wajar terjadi.

Berdasarkan lini masa, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi telah mengalami perubahan sebanyak tiga kali. Masing-masing melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 yang kemudian dibatalkan karena membatasi kewenangan MK, terbaru Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020. Hanya saja, seperti yang sudah-sudah, perubahan beberapa pasal masih berkutat di wilayah politis ihwal jabatan Hakim Konstitusi. Seperti syarat usia, masa jabatan, hingga kode etik. Beberapa ketentuan ini begitu rumit, bahkan sangat sulit, untuk diformulasikan ke dalam dalil permohonan uji konstitusionalitas untuk membatalkan keberlakuannya.

Dari sisi ketentuan masa jabatan, misalnya. Revisi UU MK yang memperpanjang masa jabatan Hakim Konstitusi hingga usia 70 tahun terbilang sulit menemukan dalil faktual telah dilanggarnya nilai-nilai konstitusi. Bahkan sekiranya revisi tersebut mengubah keseluruhan ketentuan masa jabatan hakim dengan merujuk sepenuhnya model Supreme Court Amerika yang memberi jabatan seumur hidup, hal itu juga sulit dicarikan dalil inkonstitusionalitasnya. Sebab, model Amerika yang separuh diadaptasi Indonesia berupaya menekan persinggungan hakim dengan nuansa politik praktis melalui metode satu kali masa jabatan yang panjang.

Artinya, ketika seorang telah menduduki jabatan hakim di Supreme Court, Presiden tidak dapat mengganti hakim bersangkutan hingga akhir hayatnya, kecuali ia mengundurkan diri atau tersandung kasus hukum. Namun demikian, model ini tetap saja riskan, sebab pengisian jabatan hakim Supreme Court dilakukan melalui penunjukan oleh Presiden dengan persetujuan Senat. Semakin buruk bilamana metode itu disalin Indonesia yang kerap mengakali aturan hukum untuk melakukan rekrutmen senyap di masing-masing lembaga pengusung.

Sungguh demikian, revisi UU MK tetap saja bermasalah bilamana ditinjau dari segi momentum yang berdekatan dengan pengundangan berikut sengketa dua undang-undang bermasalah, revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja. Di sinilah upaya menekan persinggungan Hakim Konstitusi dengan anasir politik praktis melalui satu kali masa jabatan menjadi percuma dan seolah hanya dijadikan alasan formalitas tanpa niat tulus memagari. Keadaan ini sekali jalan menghasilkan kesulitan pada tiga pihak, para pemohon pengujian revisi UU MK yang sulit memformulasikan dalil permohonan secara faktual, para Hakim Konstitusi yang sulit menghindar dari indikasi politik transaksional karena diuntungkan dengan panjangnya masa jabatan, dan pembentuk undang-undang yang tidak mungkin menjauh dari stigma pembajakan peradilan konstitusi.

Khususnya Presiden dan DPR-RI yang menanggung beban moril atas revisi kilat dalam waktu 7 haru kerja karena mengenyampingkan isu kompatibel, yakni hukum acara. Sejak MK masih embrio yang terkandung dalam draf RUU usulan anggota DPR-RI periode 1999-2004, pertumbuhan hukum acara yang lebih cepat dibanding ketentuan undang-undang organik telah disadari. Itulah mengapa hukum acara MK diformulasikan begitu evolusioner lewat rumusan Pasal 86 UU MK, yang menyatakan “Mahkamah Konstitusi dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya menurut Undang-Undang ini”. Inilah genealogi penyempurnaan hukum acara, dua di antaranya lewat Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) dan putusan.

PMK dan Putusan MK

Sejak tahun 2003 MK telah menghasilkan 69 PMK dengan rincian 46 PMK di antaranya telah dicabut dan saat ini terdapat 23 PMK yang berlaku. Secara teoritis merujuk Pasal 8 Ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011, PMK sejatinya berjenis aturan internal kelembagaan. Namun berdasarkan materi muatannya, PMK tidak dapat dijuruskan kepada aturan individual (beschikking), sebab dari 23 PMK, hanya enam yang bersifat individual, sedangkan tujuh belas lainnya berkarakter hukum publik (regeling) yang normanya serupa undang-undang.Jenis inilah yang digunakan untuk menambal kekurangan hukum acara dalam undang-undang organik.

Beberapa di antaranya PMK Nomor 2/PMK/2021 Tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, PMK Nomor 1/PMK/2021 Tentang Penyelenggaraan Persidangan Jarak Jauh, PMK Nomor 8/PMK/2006 Tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan Lembaga Negara, PMK Nomor 12/PMK/2008 Tentang Prosedur Beracara dalam Pembubaran Partai Politik dan PMK Nomor 21/PMK/2009 Tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Seharusnya beberapa PMK ini ditarik oleh pembentuk undang-undang untuk diakomodir ke dalam revisi UU MK guna merapikan hukum acara yang berserakan di luar undang-undang organik.

Pengakomodasian beberapa PMK tersebut sejatinya memiliki urgensi yang memadai untuk menciptakan pakem hukum acara. Karena PMK yang sifatnya aktual justru diserahkan kepada MK sendiri untuk dibentuk dan diubah sesuai kebutuhan lembaga, sedangkan objek pengaturannya bukan persoalan internal kelembagaan yang dapat dimaklumi. Contohnya PMK tentang hukum acara pengujian undang-undang. Sebelumnya ketentuan itu diatur melalui PMK Nomor 6/PMK/2005 Tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, inilah PMK dengan usia terpanjang yang dibentuk tahun 2005 dan dicabut pada tahun 2020 melalui PMK Nomor 9/PMK/2020 Tentang Tata Cara Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.

Akan tetapi, perubahan itu tidak berumur panjang. Setelah ditetapkan pada tanggal 30 Desember 2020, ia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku pada tanggal 14 April 2021 dengan pemberlakuan PMK Nomor 2/PMK/2021. Potret ini menunjukkan betapa rentannya pakem hukum acara pengujian undang-undang yang hanya berlaku tidak sampai empat bulan, sedangkan objek pengaturannya merupakan tugas utama MK sebagai peradilan politik yang memutus status konstitusionalitas produk hukum.

Namun demikian terdapat juga beberapa PMK yang kerap berubah karena menyesuaikan dengan keadaan objek sengketa. Seperti PMK Nomor 7/PMK/2020 Tentang Tahapan, Kegiatan dan Jadwal Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, serta PMK Nomor 8/PMK/2020 Tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PMK/2020 Tentang Tahapan, Kegiatan dan Jadwal Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

Kemudian PMK Nomor 2/PMK/2018 Tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, PMK Nomor 3/PMK/2018 Tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah dan PMK Nomor 4/PMK/2018 Tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Terhadap objek pengaturan seperti beberapa PMK ini dapat dikecualikan karena adanya keadaan yang mengharuskan fleksibilitas, sebab objek sengketa tidak selalu muncul sepanjang waktu seperti halnya sengketa konstitusionalitas undang-undang.

Sementara itu beberapa putusan memang diakomodir oleh pembentuk undang-undang ke dalam revisi UU MK, di antaranya Putusan Nomor 48/PUU-IX/2011, Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011, Putusan Nomor 34/PUU-X/2012 dan Putusan Nomor 7/PUU-XI/2013. Sekali lagi, pembentuk undang-undang abai pada putusan-putusan lainnya yang memenuhi urgensi untuk diakomodir ke dalam revisi UU MK yang justru merinci dan bahkan melengkapi pasal-pasal hukum acara di undang-undang organik.

Di antaranya paling banyak mengenai legal standing, seperti Putusan Nomor 006/PUU-III/2005, Putusan Nomor 010/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 011/PUU-V/2007 yang menjabarkan ketentuan Pasal 51 Ayat (1) UU MK. Lewat tiga putusan tersebut, MK merinci kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dengan lima syarat:

Adanya hak konstitusionalitas para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;

Hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;

  1. Kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi;
  2. Adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
  3. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

Selain itu ada juga Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, Putusan Nomor 002/PUU-I/2003, Putusan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004, Putusan Nomor 008/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 013-021/PUU-III/2005. Beberapa putusan ini dijadikan dasar hukum bagi perkara yang diajukan lebih dari satu permohonan untuk digabungkan menjadi satu perkara. Kemudian terhadap pengujian konstitusionalitas yang dimohonkan oleh WNI dalam jabatannya sebagai anggota DPR juga mengacu kepada beberapa putusan, di antaranya:

  1. Putusan Nomor 23-26/PUU-VIII/2010: Apabila materi norma undang-undang yang dimohonkan menyangkut hak anggota DPR untuk menyatakan pendapat;
  2. Putusan Nomor 38/PUU-VIII/2010: Apabila materi norma undang-undang yang dimohonkan berkenaan dengan hak seseorang untuk menjadi wakil rakyat;
  3. Putusan Nomor 39/PUU-XI/2013: Apabila materi norma undang-undang yang dimohonkan berkaitan dengan berakhirnya masa jabatan anggota DPR;
  4. Putusan Nomor 93/PUU-XII/2014: Apabila materi norma undang-undang yang dimohonkan berupa mekanisme pemilihan pimpinan DPRD kabupaten/kota.

Lebih elok tentunya bilamana tujuh putusan yang dijadikan yurisprudensi di pangkal perkara konstitusionalitas itu turut diakomodir ke dalam revisi UU MK. Sebab legal standing merupakan pintu masuk bagi subjek hukum untuk dapat memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya.

Proporsionalitas

Sejatinya MK tidak dapat dipersalahkan akibat overlapping yang terjadi, karena merupakan kewajiban Hakim Konstitusi bersama peradilannya untuk mengakomodir kepentingan pencari keadilan. Di tengah keterbatasan hukum acara, regulasi yang dihasilkan mengakibatkan sembilan Hakim Kontitusi benar-benar bertransformasi menjadi legislator bertoga.

DPR-RI periode 1999-2004 terbilang progresif dengan mengantisipasi kemacetan tugas besar MK sebagai penyeimbang tarik-menarik legislatif dan eksekutif. Hanya saja momentum revisi UU MK seharusnya dimanfaatkan untuk merapikan overlapping tersebut. Dengan begitu pembentuk undang-undang setidaknya bisa cuci tangan dari perilaku politik dagang sapi, sekaligus menyelematkan marwah peradilan konstitusi dari isu politik transaksional.

Putusan MK yang mengecewakan atas pengujian revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja tidak mungkin terhindar dari stigma atas momentum dan pasal-pasal baru dalam revisi UU MK yang menguntungkan para hakimnya. Akibatnya, revisi tersebut bukan hanya mencederai sistem ketatanegaraan, pasal-pasal baru itu tak ubahnya benih kanker yang ditanam dalam tubuh peradilan konstitusi Indonesia. Alhasil, MK menjadi anak adopsi dari tatanan oligarki.

*)Ilhamdi Putra, Peneliti Pusat Kajian Bung Hatta Anti Korupsi (BHAKTI).

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait