Sikap Negarawan Anwar Usman Diuji
Utama

Sikap Negarawan Anwar Usman Diuji

Tak bisa lagi bekerja secara maksimal sebagai hakim konstitusi karena tidak boleh ikut dalam memeriksa perkara perselisihan hasil pemilihan umum. Menggundurkan diri cara bijak yang dapat dilakukan Anwar Usman untuk berkontribusi memperbaiki MK.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Senada, dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona berpendapat Anwar Usman seharusnya diberhentikan tidak dengan hormat. Kendati ada aturan untuk banding bagi hakim konstitusi yang dihatuhkan sanksi tersebut, tapi itu jadi urusan lain. Yang jelas MKMK seharusnya memberhentikan Anwar Usman tidak dengan hormat karena banyak pelanggaran yang terbukti. Pencopotan Anwar Usman dari jabatan Ketua MK dinilai tidak mengubah komposisi hakim konstitusi yang ada sekarang.

Paling dampaknya dalam pengujian perkara tertentu seperti perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) karena MKMK tidak memperkenankan Anwar Usman terlibat atau melibatkan diri mengambil keputusan terkait perkara tersebut baik pemilu Presiden dan Wakil Presiden, DPR/DPD/DPRD, Gubernur/Bupati/Walikota yang berpotensi timbul benturan kepentingan. Hal itu membuat Anwar Usman tidak bisa berperan optimal menjalankan fungsinya sebagai hakim konstitusi.

Mengingat tak bisa lagi bekerja secara maksimal sebagai hakim konstitusi karena tidak boleh ikut dalam memeriksa perkara PHPU, Yance mengusulkan Anwar Usman lebih baik mengundurkan diri sebagai hakim konstitusi. Itu merupakan cara paling bijak yang bisa dilakukan Anwar Usman untuk berkontribusi memperbaiki MK.

“Menunjukkan dia negarawan apalagi syarat hakim konstitusi negarawan. Ini sudah terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim konstitusi tapi dia masih bertahan sehingga kita pertanyakan sikap kenegarawanannya itu,” imbuh Yance.

Putusan Tak Konsisten

Ketua Badan Pengurus Nasional (BPN) Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Julius Ibrani mencatat setidaknya 5 hal yang menunjukkan putusan MKMK No.2/MKMK/L/XI/2023 tidak konsisten. Pertama, MKMK tidak menyatakan terjadi pelanggaran pada prosedur dan administrasi.

Tapi menyebut ada intervensi yang mempengaruhi semua pelanggaran prosedur dan administrasi. Kedua, disebut juga tidak boleh ada kepentingan politik, tapi tidak menjelaskan soal intervensi itu yang notabene adalah kepentingan politik. “Jadi banyak titik (dalam putusan,-red) yang tidak konsisten,” paparnya.

Ketiga, inkonsistensi soal terbukti ada pelanggaran berat karena ada intervensi (dalam memutus perkara No.90/PUU-XXI/2023,-red) tapi sanksi yang dijatuhkan bukan pemberhentian tidak dengan hormat. Keempat, MKMK menyatakan Pasal 17 ayat 6 dan 7 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak dapat diberlakukan dalam perkara pengujian UU terhadap UUD 1945 oleh MK.

Tapi ketentuan tersebut dapat digunakan dalam pemeriksaan permohonan UU di MK. Kelima, para pelapor tidak ada yang meminta MKMK membahas mekanisme banding, tapi dalam putusannya MKMK mengunci agar putusannya bersifat final sehingga ketentuan banding dalam Peraturan MK No.1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi tidak diberlakukan.

Tags:

Berita Terkait