Sikap Negarawan Anwar Usman Diuji
Utama

Sikap Negarawan Anwar Usman Diuji

Tak bisa lagi bekerja secara maksimal sebagai hakim konstitusi karena tidak boleh ikut dalam memeriksa perkara perselisihan hasil pemilihan umum. Menggundurkan diri cara bijak yang dapat dilakukan Anwar Usman untuk berkontribusi memperbaiki MK.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Hakim konstitusi, Anwar Usman. Foto: RES
Hakim konstitusi, Anwar Usman. Foto: RES

Melalui putusan No.2/MKMK/L/11/2023, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menjatuhkan sanksi pencopotan jabatan Ketua MK yang disandang Anwar Usman. Sanksi diberikan lantaran Anwar Usman terbukti melaggar kode etik dan perilaku hakim konstitusi kategori berat. Ada seumlah prinsip etik yang dilanggar antara lain prinsip ketidakberpihakan, integritas, kecakapan dan keseksamaan. Berbagai kalangan menilai putusan MKMK menguji sikap negarawan Anwar Usman sebagai hakim konstitusi.

Guru Besar Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Hukum (FH) Universitas Padjadjaran, Prof Susi Dwi Harijanti mengatakan Anwar Usman bisa menjadi Ketua MK karena posisinya sebagai hakim konstitusi dan terpilih sebagai Ketua. Putusan MKMK yang mencopot jabatan Anwar Usman sebagai Ketua MK secara implisit bisa diartikan yang bersangkutan harus menyatakan diri berhenti atau mengundurkan diri sebagai hakim konstitusi.

“Bagaimana mungkin bisa mempertahankan posisinya sebagai hakim konstitusi mengingat MKMK sudah menyatakan terbukti pelanggaran berat kode etik dan perilaku hakim,” kata Susi usai mengikuti pembacaan putusan MKMK di Gedung MK, Selasa (7/11/2023) kemarin.

Dia menilai, idealnya sanksi yang dijatuhkan untuk pelanggaran berat kode etik dan perilaku hakim adalah pemberhentian tidak dengan hormat dari jabatannya sebagai hakim konstitusi. Selain dicopot sebagai Ketua MK, MKMK juga melarang Anwar Usman memeriksa perkara yang berkaitan dengan permohonan pengujian Pasal 169 huruf q UU No.7 tahun 2017 tentang Pemilu khususnya perkara No.141/PUU-XXI/2023.

“Yang bersangkutan harus melakukan judicial disqualification dengan apa yang tadi diputuskan oleh MKMK meskipun tidak tersirat secara eksplisit,” ujarnya.

Baca juga:

Prof Susi merespon positif putusan MKMK yang memerintahkan Wakil Ketua MK dalam waktu 2x24 jam untuk segera menyelenggarakan pemilihan Ketua MK yang baru. Hal ini penting, apalagi jika putusan MKMK memberi sanksi berupa pemberhentian tidak dengan hormat dari hakim konstitusi. Sebab, UU No.7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatur pemberhentian hakim konstitusi ditetapkan dengan keputusan Presiden atas permintaan Ketua MK.

Senada, dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona berpendapat Anwar Usman seharusnya diberhentikan tidak dengan hormat. Kendati ada aturan untuk banding bagi hakim konstitusi yang dihatuhkan sanksi tersebut, tapi itu jadi urusan lain. Yang jelas MKMK seharusnya memberhentikan Anwar Usman tidak dengan hormat karena banyak pelanggaran yang terbukti. Pencopotan Anwar Usman dari jabatan Ketua MK dinilai tidak mengubah komposisi hakim konstitusi yang ada sekarang.

Paling dampaknya dalam pengujian perkara tertentu seperti perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) karena MKMK tidak memperkenankan Anwar Usman terlibat atau melibatkan diri mengambil keputusan terkait perkara tersebut baik pemilu Presiden dan Wakil Presiden, DPR/DPD/DPRD, Gubernur/Bupati/Walikota yang berpotensi timbul benturan kepentingan. Hal itu membuat Anwar Usman tidak bisa berperan optimal menjalankan fungsinya sebagai hakim konstitusi.

Mengingat tak bisa lagi bekerja secara maksimal sebagai hakim konstitusi karena tidak boleh ikut dalam memeriksa perkara PHPU, Yance mengusulkan Anwar Usman lebih baik mengundurkan diri sebagai hakim konstitusi. Itu merupakan cara paling bijak yang bisa dilakukan Anwar Usman untuk berkontribusi memperbaiki MK.

“Menunjukkan dia negarawan apalagi syarat hakim konstitusi negarawan. Ini sudah terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim konstitusi tapi dia masih bertahan sehingga kita pertanyakan sikap kenegarawanannya itu,” imbuh Yance.

Putusan Tak Konsisten

Ketua Badan Pengurus Nasional (BPN) Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Julius Ibrani mencatat setidaknya 5 hal yang menunjukkan putusan MKMK No.2/MKMK/L/XI/2023 tidak konsisten. Pertama, MKMK tidak menyatakan terjadi pelanggaran pada prosedur dan administrasi.

Tapi menyebut ada intervensi yang mempengaruhi semua pelanggaran prosedur dan administrasi. Kedua, disebut juga tidak boleh ada kepentingan politik, tapi tidak menjelaskan soal intervensi itu yang notabene adalah kepentingan politik. “Jadi banyak titik (dalam putusan,-red) yang tidak konsisten,” paparnya.

Ketiga, inkonsistensi soal terbukti ada pelanggaran berat karena ada intervensi (dalam memutus perkara No.90/PUU-XXI/2023,-red) tapi sanksi yang dijatuhkan bukan pemberhentian tidak dengan hormat. Keempat, MKMK menyatakan Pasal 17 ayat 6 dan 7 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak dapat diberlakukan dalam perkara pengujian UU terhadap UUD 1945 oleh MK.

Tapi ketentuan tersebut dapat digunakan dalam pemeriksaan permohonan UU di MK. Kelima, para pelapor tidak ada yang meminta MKMK membahas mekanisme banding, tapi dalam putusannya MKMK mengunci agar putusannya bersifat final sehingga ketentuan banding dalam Peraturan MK No.1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi tidak diberlakukan.

Tags:

Berita Terkait