Siasat DPR Menafsirkan Putusan MK Melalui RUU Pilkada
Terbaru

Siasat DPR Menafsirkan Putusan MK Melalui RUU Pilkada

Putusan MK seharusnya berlaku apa adanya ketika sudah inkrah, final dan mengikat serta self executing. Kedudukan berlakunya putusan MK selayaknya berlakunya UU.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Situasi pengambilan keputusan tingkat I atas RUU Pilkada pada rapat panja Baleg bersama DPD dan pemerintah di Komplek  Gedung Parlemen, Rabu (21/8/2024). Foto RES
Situasi pengambilan keputusan tingkat I atas RUU Pilkada pada rapat panja Baleg bersama DPD dan pemerintah di Komplek Gedung Parlemen, Rabu (21/8/2024). Foto RES

Kendati penundaan pengambilan keputusan persetujuan atas RUU tentang Perubahan Keempat atas UU No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi UU pada rapat paripurna, namun DPR tetap akan melakukan hal serupa pekan depan. Alibi Badan Legislasi (Baleg) DPR menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK), namun sedianya upaya menyiasati dengan menafsirkan putusan MK No.60/PUU-XXII/2024 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024.

Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Ismail Hasani mengatakan langkah Baleg tersebut sebagai bentuk vetokrasi sebagian elit politik yang nafsu menguasai seluruh ruang-ruang politik kontestasi Pilkada 2024. Vetokrasi dalam konteks revisi UU Pilkada menurut Ismail  berbentuk kesepakatan elit memveto aspirasi publik dan kepemimpinan interpretasi konstitusi sebagaimana dalam Putusan MK No.60/PUU-XXII/2024 yang berupaya menyelamatkan demokrasi dari hegemoni dan tirani mayoritas.

“Bukan hanya membangkangi putusan MK, revisi 7 jam atas UU Pilkada mengandung cacat materiil dan formil, karena rumusan syarat pencalonan ditafsir sesuai selera para vetokrat untuk kepentingan menguasai semua jalur dan saluran kandidasi Pilkada,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Kamis (22/8/2024).

Menurutnya, penetapan syarat bervariasi yang telah ditetapkan MK malah ditafsir oleh DPR sebagai tidak berlaku bagi partai yang memperoleh kursi di DPRD.  Siasat tafsir dilakukan terhadap konstitusional genapnya usia 30 tahun bagi seorang calon gubernur/wakil gubernur, yang dihitung sejak pencalonan.

Baca juga:

Putusan MK seharusnya berlaku apa adanya ketika sudah inkrah, final dan mengikat serta self executing. Baginya kedudukan berlakunya putusan MK selayaknya berlakunya UU. Bentuk pembangkangan DPR terhadap putusan MK merupakan pelanggaran hukum. Tak saja menabrak tatanan konstitusional, tapi pula merobohkan prinsip checks and balances.

“Peragaan kehidupan demokrasi yang semakin rapuh, revisi kilat UU Pilkada untuk kepentingan elit dan pembangkangan putusan MK telah menjadi bukti tidak adanya kepemimpinan dalam interpretasi konstitusi (constitutional leadership) meski Indonesia memiliki Mahkamah Konstitusi,” katanya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait