Sepakat dan Permasalahannya: Teori Membahayakan
Catatan Hukum J. Satrio

Sepakat dan Permasalahannya: Teori Membahayakan

Doktrin memberikan pendapatnya dengan mengatakan, bahwa orang yang iktikadnya baik, harus mendapatkan perlindungan dalam hukum.

RED
Bacaan 2 Menit

 

Hal itu membawa kosekuensi, bahwa untuk  menuntut pembatalan  perjanjian  atas   dasar,  bahwa  ia tidak  pernah  diberikan sepakat  (karena  yang  nampak   keluar  adalah  tidak  sesuai  dengan  yang  dikehendaki), ia harus  membuktikan,  bahwa  lawan  janjinya  tahu  atau  sepantasnya  tahu,  bahwa  pernyataannya  adalah  tidak  sesuai   dengan   kehendaknya.[1]

 

Pasal 447  B.W. dan Iktikad Baik

Sudah bisa diduga, bahwa Teori Kepercayaan akan sangat berperan untuk menentukan, apakah orang dewasa, yang sakit jiwa, tetapi belum ditaruh di bawah pengampuan, yang menutup perjanjian, kemudian boleh menuntut pembatalan perjanjian itu atas dasar Pasal 447 B.W.?

 

Bukankah Pasal 447 B.W. mengatakan:

“Segala tindak perdata yang terjadi kiranya sebelum perintah pengampuan berdasarkan atas keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap diucapkan, akan boleh dibatalkan, jika dasar pengampuan tadi telah ada pada saat tindak itu dilakukannya”.

 

Menjadi pertanyaan, bagaimana kalau lawan janjinya tidak tahu, bahwa ia berhadapan dengan orang yang tidak waras, sebab orang yang sakit jiwa, tidak selalu dalam keadaan kacau? Orang sakit jiwa ada kalanya bisa berbicara dan berkomunikasi dengan baik, sehingga orang lain bisa tidak menyadari, bahwa ia berhadapan dengan orang yang sakit jiwa.

 

Doktrin memberikan pendapatnya dengan mengatakan, bahwa orang yang iktikadnya baik, harus mendapatkan perlindungan dalam hukum.

 

Dalam suatu perkara, HR -Pengadilan Tertinggi di Belanda- pernah memberikan pertimbangan: Kehidupan  bermasyarakat  menuntut,  bahwa   kepentingan   pihak yang    percaya,  bahwa   pernyataan   lawan  janjinya  adalah  benar,  harus  dilindungi   atas  kerugian  pihak   yang  mengemukakan,   bahwa  pernyataannya  adalah   tidak   sesuai  dengan  kehendaknya,  kalau  ia  tidak  tahu,  bahwa  lawan  janjinya   menderita  gangguan  jiwa.[2]

 

Kesimpulan

Atas dasar apa yang disebutkan di atas, kita melihat, bahwa orang bisa terikat pada perjanjian bukan karena ia menghendakinya, tetapi karena pernyataannya menimbulkan kepercayaan pada lawan janjinya, bahwa gambaran itu adalah sesuai dengan yang dikehendaki oleh si pemberi penyataan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait