Dalam rangka mendukung kelancaran penyelenggaraan pesta demokrasi 2024 mendatang, pemerintah telah melakukan berbagai hal antara lain melakukan koordinasi dengan berbagai lembaga. Salah satunya rapat koordinasi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) M Mahfud MD, dengan TNI-Polri yang diselenggarakan di Jakarta, Senin (29/5/2023).
Dalam kesempatan itu Mahfud mengingatkan berbagai potensi kerawanan yang terjadi dalam pemilu. Misalnya, dalam proses penghitungan suara, ada potensi jual beli suara di tingkat, desa, kecamatan, dan kabupaten/kota. Pengalaman itu didapat ketika Mahfud menjadi hakim konstitusi dan menyidangkan perkara sengketa pemilu.
Secara umum Mahfud menilai pemilu yang berlangsung selama ini sama seperti orde baru yakni diwarnai kecurangan. Bedanya kecurangan yang terjadi di era orde baru sifatnya vertikal. Yakni pelakunya adalah pemerintah, misalnya lembaga pemilu melalui kementerian dalam negeri kemudian ABRI, birokrasi, dan Golkar menentukan pemilu. Sementara di era reformasi kecurangan bersifat horizontal. Seperti antar partai politik saling melakukan kecurangan.
Tak jarang perkara kecurangan itu sampai berlabuh ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mahfud mengingatkan sekalipun kecurangan itu terbukti di MK tapi tidak menggugurkan hasil pemilu. Misalnya ada calon yang menang pemilu dengan 5 juta suara, lalu lawannya kalah karena hanya memiliki 4 juta suara.
Baca juga:
- 8 Catatan PSHK untuk Penyelenggaraan Pemilu 2024
- Menanti Komitmen KPU Merevisi PKPU Pencalonan Anggota Legislatif
- DPR Setuju Perppu Pemilu Jadi UU
Calon yang kalah kemudian menggugat karena pemenang diduga melakukan kecurangan. Walau di persidangan terbukti calon yang menang itu melakukan kecurangan. Misalnya terhadap 200 ribu suara, tapi hasil pemilu tidak berubah karena suara dari calon yang kalah tidak signifikan jumlahnya atau di bawah 5 juta suara.
“Walau kecurangan pemilu terbukti di persidangan MK tapi tetap tidak bisa mengubah hasil pemilu,” ujar Mahfud.