Sejumlah Catatan SETARA Institute untuk Kinerja MK
Utama

Sejumlah Catatan SETARA Institute untuk Kinerja MK

MK mengapresiasi catatan-catatan SETARA Institute yang memang sejalan dengan upaya yang telah, sedang, dan terus dilakukan untuk meningkatkan performa dalam menjalankan kewenangan konstitusionalnya.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit

Terkait manajemen peradilan konstitusi, SETARA Institute melihat manajemen perkara PUU mengalami perbaikan signifikan, khususnya terkait lama persidangan dalam memutus permohonan yang tidak dapat diterima. Dari 32 putusan tidak diterima hanya terdapat 4 perkara yang diputus lebih dari 3 kali sidang. Selebihnya sebanyak 28 perkara diputus dalam 3 kali persidangan oleh MK.

“Efektivitas penerapan prosedur dismissal telah memungkinkan penghematan anggaran negara dan alokasi waktu yang maksimal bagi para hakim MK untuk betul-betul memeriksa perkara yang berkualitas,” sebutnya.

Perbaikan signifikan lain adalah terkait lama waktu berperkara. Sebanyak 84 persen perkara di PUU di MK selesai dalam waktu kurang dari 1 bulan sampai dengan 6 bulan. “MK juga menunjukkan kecepatan pembacaan putusan dari Rapat Pemusyawaratan Hakim hingga pleno (pembacaan putusan). Sebanyak 64 persen perkara PUU dibacakan kurang dari 1 bulan sejak RPH. Kemajuan ini meminimalisir potensi jual beli putusan sebagaimana yang pernah diperankan oleh Patrialis Akbar.”  

MK apresiasi

Terpisah, Juru Bicara MK Fajar Laksono Suroso berterima kasih dan apresiasi atas catatan-catatan SETARA Institute terhadap kinerja MK. Hal ini sejalan dengan upaya yang telah, sedang, dan terus dilakukan MK untuk meningkatkan performa dalam menjalankan kewenangan konstitusionalnya.

“Ada catatan positif dan negatif, itu wajar adanya. Sekalipun mungkin ada perbedaan, itu mungkin hanya soal pilihan cara, strategi, prioritas,” kata Fajar saat dihubungi, Selasa (18/8/2020).

Yang pasti, MK sangat terbuka terhadap masukan dari manapun sepanjang demi dan untuk kemajuan MK. Bagi MK, ada putusan yang dikategorikan memiliki tone positif atau tone negatif (walaupun SETARA mencatat tidak ada), hal itu diserahkan penilaian sepenuhnya kepada publik. Putusan merupakan domain publik, sehingga publik terbuka memberi penilaian.

“Masing-masing pasti punya ukuran dan penilaian sendiri yang bisa jadi berbeda-beda,” kata dia.

SETARA mengusulkan perlu hakim konstitusi memiliki paradigma dan mazhab pemikiran, dalam hal ini popular constitusionalism. Baginya, hal ini wacana sangat menarik. Namun betapapun itu harus diingat, hakim konstitusi memiliki keleluasaan dan independensi dalam memilih serta menentukan. Misalnya, perihal metode penafsiran konstitusi, yang alasan pemilihannya dituangkan dalam pertimbangan hukum.

Tags:

Berita Terkait