Sejumlah Alasan Sektor Pendidikan Perlu Dicabut dari RUU Cipta Kerja
Utama

Sejumlah Alasan Sektor Pendidikan Perlu Dicabut dari RUU Cipta Kerja

Karena RUU Cipta Kerja semakin memperluas komersialisasi, privatisasi, dan neoliberalisme dalam sektor pendidikan. RUU Cipta Kerja mempermudahkan lembaga pendidikan asing untuk membuka cabang di Indonesia.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

Mengingat revisi sektor pendidikan yang dilakukan RUU Cipta Kerja arahnya bukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, tapi sekedar memberi karpet merah bagi investor, Halimson mengusulkan sektor pendidikan dicabut dari RUU Cipta Kerja. “Lebih baik pemerintah dan DPR merevisi UU No.20 Tahun 2003 tanpa dimasukan dalam RUU Cipta Kerja,” sarannya.

Dalam kesempatan yang sama, Anggota Badan Legislasi DPR Ledia Hanifa Amaliah mencatat RUU Cipta Kerja menghapus frasa “berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia” sebagaimana diatur Pasal 1 angka 2 UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Padahal, selama ini kebudayaan bangsa Indonesia digunakan sebagai dasar perguruan tinggi menyelenggarakan pendidikan tinggi.

RUU Cipta Kerja juga menarik kewenangan Menteri Agama dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi keagamaan sebagaimana diatur Pasal 7 ayat (4) UU No.12 Tahun 2012. Selain itu, RUU Cipta Kerja menghapus syarat minimum akreditasi bagi pendidikan tinggi yang ingin membuka program studi.

Tak hanya itu, UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen juga tak luput direvisi melalui RUU Cipta Kerja. Ledia mencatat RUU Cipta Kerja melonggarkan ketentuan sertifikat pendidik bagi guru sebagai tenaga profesional. RUU Cipta Kerja mengubah Pasal 2 ayat (2) UU Guru dan Dosen, sehingga pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional “dapat” (bukan wajib, red) dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Demikian pula Pasal 3 ayat (2) yang mengatur sertifikat pendidik untuk dosen.

“Sertifikat ini sangat penting bagi pendidik, tapi RUU Cipta Kerja membuat sertifikat ini menjadi tidak penting,” lanjutnya.

Menurut Ledia, sejumlah peraturan sektor pendidikan yang direvisi melalui RUU Cipta Kerja tidak ada hubungannya dengan penciptaan lapangan kerja sebagaimana tujuan disusunnya RUU Cipta Kerja. Untuk membenahi SDM, pembenahan yang harus dilakukan sifatnya menyeluruh, bukan parsial dan tidak bisa hanya mengandalkan investasi. “Tarik saja semua yang berkaitan dengan konsep pendidikan dari RUU Cipta Kerja,” dukungnya.

Sementara kandidat doktor Departemen Antropologi University of Amsterdam, Fajri Siregar, menilai secara umum banyak pola pikir yang tidak sejalan antara omnibus law dengan revisi sejumlah UU di sektor pendidikan. Persoalan yang muncul antara lain lembaga pendidikan asing semakin mudah masuk Indonesia, dan pelaku usaha di bidang pendidikan kebal terhadap hukum karena sanksi pidananya dicabut.

Pengajuan perizinan bagi lembaga pendidikan asing yakni BKPM, bukan lagi Kementerian Pendidikan. “RUU Cipta Kerja menguntungkan dosen lulusan asing karena tidak perlu sertifikasi,” katanya.

Tags:

Berita Terkait