Sejumlah Alasan Sektor Pendidikan Perlu Dicabut dari RUU Cipta Kerja
Utama

Sejumlah Alasan Sektor Pendidikan Perlu Dicabut dari RUU Cipta Kerja

Karena RUU Cipta Kerja semakin memperluas komersialisasi, privatisasi, dan neoliberalisme dalam sektor pendidikan. RUU Cipta Kerja mempermudahkan lembaga pendidikan asing untuk membuka cabang di Indonesia.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR. Foto: RES
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR. Foto: RES

Substansi RUU Cipta Kerja tak henti-hentinya menuai polemik di masyarakat. Salah satu yang disorot yakni revisi sejumlah UU terkait pendidikan dalam RUU Cipta Kerja, antara lain UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi; UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; dan UU No.20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran.

Tim Kajian RUU Cipta Kerja DPP Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), Halimson Redis, menilai substansi RUU Cipta Kerja secara umum sektor pendidikan mengarah pada komersialisasi, privatisasi, neoliberal, dan kapitalisme. Misalnya, komersialisasi Pendidikan bisa dilihat dari revisi Pasal 53 UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.  

Pasal 53 ayat (1) menyebutkan penyelenggaraan dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Pasal 53 ayat (3) menyebut badan hukum pendidikan berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.

Namun, RUU Cipta merevisi Pasal 53 ayat (3), sehingga badan hukum pendidikan “dapat berprinsip nirlaba.” Melalui revisi itu, Halimson melihat ketika RUU Cipta Kerja disahkan, maka lembaga pendidikan tidak harus berbentuk yayasan. Akibatnya akan terjadi komersialisasi pendidikan yakni berbiaya mahal dan sulit dijangkau masyarakat. Kata lain, masyarakat miskin bakal semakin sulit mengakses pendidikan yang berkualitas.   

“RUU Cipta Kerja ini titik beratnya hanya untuk mengundang investor saja (di bidang pendidikan, red),” kata Halimson Redis dalam diskusi secara daring yang diselenggarakan PSHK Indonesia bertema “Pendidikan dalam RUU Cipta Kerja: Demi Investasi atau Masa Depan Generasi?”, Senin (20/7/2020). (Baca Juga: Ini Tujuh Dampak Negatif RUU Cipta Kerja terhadap Publik)

Halimson juga mengkritik revisi Pasal 65 UU No.20 Tahun 2003 yang intinya RUU Cipta Kerja menghapus kewajiban status akreditasi atau diakui di negaranya bagi lembaga pendidikan asing yang ingin menyelenggarakan pendidikan di wilayah Indonesia. Menurut Halimson, jika ketentuan akreditasi ini dihapus, maka berpotensi meningkatkan jumlah lembaga pendidikan asing yang abal-abal di Indonesia. RUU Cipta Kerja juga menghapus sanksi pidana sebagaimana diatur Pasal 67, 68, 69 UU No.20 Tahun 2003.

“Sanksi pidana ini dihapus padahal banyak kasus dimana Lembaga (pendidikan, red) menerbitkan sertifikat palsu,” bebernya.

Mengingat revisi sektor pendidikan yang dilakukan RUU Cipta Kerja arahnya bukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, tapi sekedar memberi karpet merah bagi investor, Halimson mengusulkan sektor pendidikan dicabut dari RUU Cipta Kerja. “Lebih baik pemerintah dan DPR merevisi UU No.20 Tahun 2003 tanpa dimasukan dalam RUU Cipta Kerja,” sarannya.

Dalam kesempatan yang sama, Anggota Badan Legislasi DPR Ledia Hanifa Amaliah mencatat RUU Cipta Kerja menghapus frasa “berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia” sebagaimana diatur Pasal 1 angka 2 UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Padahal, selama ini kebudayaan bangsa Indonesia digunakan sebagai dasar perguruan tinggi menyelenggarakan pendidikan tinggi.

RUU Cipta Kerja juga menarik kewenangan Menteri Agama dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi keagamaan sebagaimana diatur Pasal 7 ayat (4) UU No.12 Tahun 2012. Selain itu, RUU Cipta Kerja menghapus syarat minimum akreditasi bagi pendidikan tinggi yang ingin membuka program studi.

Tak hanya itu, UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen juga tak luput direvisi melalui RUU Cipta Kerja. Ledia mencatat RUU Cipta Kerja melonggarkan ketentuan sertifikat pendidik bagi guru sebagai tenaga profesional. RUU Cipta Kerja mengubah Pasal 2 ayat (2) UU Guru dan Dosen, sehingga pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional “dapat” (bukan wajib, red) dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Demikian pula Pasal 3 ayat (2) yang mengatur sertifikat pendidik untuk dosen.

“Sertifikat ini sangat penting bagi pendidik, tapi RUU Cipta Kerja membuat sertifikat ini menjadi tidak penting,” lanjutnya.

Menurut Ledia, sejumlah peraturan sektor pendidikan yang direvisi melalui RUU Cipta Kerja tidak ada hubungannya dengan penciptaan lapangan kerja sebagaimana tujuan disusunnya RUU Cipta Kerja. Untuk membenahi SDM, pembenahan yang harus dilakukan sifatnya menyeluruh, bukan parsial dan tidak bisa hanya mengandalkan investasi. “Tarik saja semua yang berkaitan dengan konsep pendidikan dari RUU Cipta Kerja,” dukungnya.

Sementara kandidat doktor Departemen Antropologi University of Amsterdam, Fajri Siregar, menilai secara umum banyak pola pikir yang tidak sejalan antara omnibus law dengan revisi sejumlah UU di sektor pendidikan. Persoalan yang muncul antara lain lembaga pendidikan asing semakin mudah masuk Indonesia, dan pelaku usaha di bidang pendidikan kebal terhadap hukum karena sanksi pidananya dicabut.

Pengajuan perizinan bagi lembaga pendidikan asing yakni BKPM, bukan lagi Kementerian Pendidikan. “RUU Cipta Kerja menguntungkan dosen lulusan asing karena tidak perlu sertifikasi,” katanya.

Tags:

Berita Terkait