Sarat Moral Hazard Jadi Dalil Penolakan UU Cipta Kerja
Berita

Sarat Moral Hazard Jadi Dalil Penolakan UU Cipta Kerja

Asia-Europe People’s Forum (AEPF) telah mengumpulkan hampir 150 tandatangan di atas pernyataan solidaritas terhadap perjuangan demokrasi di Indonesia.

Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 5 Menit

Situasi ini menurut Marwan berbanding terbalik karena, pemerintah dan DPR justru memberi peran bagi pengusaha bukan saja untuk memberi masukan, tapi juga diberi peran penting menyusun draft RUU. Artinya, sekelompok orang dari unsur-unsur luar pemerintah, partai dan pengusaha sangat berperan dalam membentuk UU ini. Sebaliknya buruh, pakar dan akademisi dihambat berpartisipasi. Hal ini menurut Marwan  merupakan bentuk ketidakadilan dan persekongkolan yang mengangkangi prinsip-prinsip musyawarah dan keadilan Pancasila.

Ketiga, melanggar UUD 1945 Pasal 1 ayat (2), Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Menurut Marwan, dengan tertutup dan konspiratifnya pembahasan RUU Ciptaker, pemerintah dan DPR bukan saja menghalangi rakyat memperoleh informasi terkait dan naskah RUU Ciptaker, tetapi juga menghambat rakyat menyampaikan aspirasi dan melaksanakan hak kedaulatan yang dijamin konstitusi.

Kemudian alasan keempat adalah, melanggar Pasal 5 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3)  dan Pasal 229 UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3). Menurut Marwan, mayoritas rapat Panja RUU melanggar asas keterbukaan karena dilakukan tertutup dan tidak dilakukan di DPR, tetapi di hotel-hotel. RUU dibahas tanpa partisipasi publik dan stakeholders terkait.

Padahal, sesuai UU P3 dan MD3, pembentukan UU mulai perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Konsultasi publik dan audiensi yang dilakukan Pemerintah dan DPR dengan beberapa pihak pada awal pembahasan, untuk kepentingan internal, bukanlah pengambilan aspirasi dan partisipasi publik sebagaimana diperintahkan kedua UU tersebut.

Kelima, Marwan menilai UU Cipta Kerja melanggar Pasal 96 ayat (4) UU No.12 Tahun 2011 tentang P3 yang menjamin akses informasi bagi publik.  Naskah hasil pembahasan RUU sebelum diputuskan seharusnya dipublikasi, disebar kepada stakeholders dan diuji publik. Namun yang terjadi draft RUU Ciptaker tidak dipublikasi dan menjadi barang rahasia. Dengan begitu hak publik mengikuti perkembangan pembahasan dan memberi masukan lisan dan tertulis terhambat. “Maka, hasil pembahasan RUU tidak dapat dipertanggungjawabkan secara formil dan materiil,” tegas Marwan.   

Marwan juga menyebutkan bahwa modus manipulatif pembentukan UU Ciptaker berlangsung bersamaan dengan munculnya langkah represif, ancaman dan penangkapan terhadap publik yang kritis, termasuk terhadap sejumlah demonstran. Hal ini menurutnya menunjukkan pemerintah telah meninggalkan prinsip-prinsip moral, demokrasi dan amanat reformasi. Pemerintah tampaknya secara perlahan berubah dari negara demokratis berazas hukum menjadi negara kekuasaan atau otriter.

“Pemerintah terbukti telah melakukan pendekatan kekuasaan dan menabrak Pancasila dan sejumlah ketentuan hukum untuk menetapkan UU Ciptaker,” tegas Marwan.  

Tags:

Berita Terkait