Pemerintah Bersama DPR mendapat tenggat waktu 2 tahun untuk memperbaiki UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebagaimana amanat Putusan Mahkamah Konstitusi No.91/PUU-XVIII/2020. Terkait hal ini, sejumlah akademisi turut memberikan pandangannya agar polemik UU Cipta Kerja tak terulang lagi.
“Dalam konteks political review, perlu dilakukan re-orientasi paradigma hukum dalam penyusunan UU Cipta Kerja. Dari paradigma hukum berbasis ideologi ekonomi-kapitalis liberal beralih menjadi paradigma hukum ekonomi Pancasila yang bertumpu pada keadilan sosial, ekonomi, dan kerakyatan,” kata dosen hukum tata negara dari Universitas Muhamadiyah Yogyakarta, King Faisal Sulaiman dalam acara yang digelar Pusat Studi Hukum Konstitusi Universitas Islam Indonesia pada 21 Maret 2022 lalu.
Materi-materi kontroversial yang termuat dalam klaster bab UU Ciptaker, menurut King Faisal, idealnya perlu dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi agar sejalan dengan aspek formil-materil atau kaidah UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3), nilai luhur Pancasila, Pasal 33 UUD 1945, UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, Tap MPR RI No IX/MPR/2001, dan Putusan MK No.3/PUU/VIII/2010.
“Materi revisi yang dimaksud harus didukung oleh data riset atau studi kelayakan. Naskah akademik juga harus komprehensif dan prinsip pembangunan berkelanjutan atau berwawasan lingkungan serta pro terhadap paradigma ekonomi Pancasila,” katanya.
Baca juga:
- Pemerintah Klaim UU Cipta Kerja Beri Terobosan Hukum dalam Pengadaan Tanah
- Akademisi Ini Usul Dua Mekanisme dalam Revisi UU Pembentukan Peraturan Perundangan
- Peran KPI dan Perubahan Paradigma dari UU Cipta Kerja
Ia juga menyampaikan, bahwa Pancasila sebagai ideologi negara dan pandangan hidup bangsa maka setiap materi pembentukan UU Cipta Kerja dan produk hukum turunan wajib menjiwai dan mengintegrasikan nilai-nilai luhur dari kelima sila dalam Pancasila.
Menurutnya, pertumbuhan ekonomi dan berbagai fasilitas, regulasi, kemudahan perizinan dan persyaratan investasi merupakan tanggung jawab pemerintah dengan tidak mengabaikan prinsip keadilan sosial, merusak lingkungan hidup, fungsi sosial tanah, kepentingan umum, dan pemanfaatan seluruh sumber daya alam sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.