“Efek jera itu harus dilakukan agar oknum yang bersangkutan tidak mengulangi lagi perbuatannya,” katanya.
Pengamat transportasi Darmaningtyas menyebut seharusnya angkot-angkot tersebut memiliki jadwal keberangkatan yang terkoordinir dengan baik agar memberikan kepastian bagi pengguna dan itu yang harus diatur oleh pemerintah.
(Baca Juga: Ingat! Ada Sanksi Bagi Pengendara yang Berteduh di Bawah Flyover Sewaktu Hujan)
Pemerintah bisa membenahi penjadwalan tersebut melalui penegakan aturan soal keharusan pengelolaan angkot-angkot oleh satu badan hukum, kata Darma, sebagaimana diamanatkan dalam UU LLAJ. Sayangnya, sambung Darma, masih ada juga angkot yang dioperasikan oleh perorangan bukan badan hukum.
“Yang sudah dikelola dalam bentuk badan hukum itu seperti angkot-angkot yang di Bogor, angkot-angkot di Jakarta sebagian seperti mikrolet dan KWK (Koperasi Wahana Kalpika), yang lain masih banyak yang perorangan” terang Darma.
Untuk diketahui, sempat diulas dalam klinik hukumonline bertajuk, Hal-hal yang Perlu Disiapkan Jika Ingin Membuka Usaha Angkutan Umum, berdasarkan Pasal 22 ayat (1) dan (2) Permenhub No. 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek, bahwa suatu perusahaan angkutan umum memang harus berbentuk badan hukum Indonesia. Adapun bentuk-bentuk badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud seperti berikut:
|
Berseberangan dengan Darma, Elen Tangkudung justru menyebut angkot yang tidak bergabung dengan badan hukum tidak bisa mendapatkan izin untuk beroperasi. Jadi walaupun pemilik angkot tersebut adalah orang pribadi, kata Elen, dia tetap harus bergabung dengan koperasi yang sudah ada, seperti KWK dan sebagainya.
“Melalui diwajibkannya angkot pribadi untuk bergabung dengan koperasi ini, disitu seharusnya pemerintah bisa mengambil kesempatan untuk masuk dan bekerjasama dengan koperasi tersebut dalam membenahi ketertiban angkot untuk tidak ngetem atau berhenti sembarangan,” tukas Elen.