Sanksi Fisik dan Pidana Bagi Angkot yang ‘Ngetem’ Sembarangan
Berita

Sanksi Fisik dan Pidana Bagi Angkot yang ‘Ngetem’ Sembarangan

Dipidana dengan dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Supir angkutan umum harus ingat bahwa ada ketentuan pemidanaan bagi pengemudi kendaraan bermotor umum angkutan orang (Angkot) berdasarkan Pasal 302 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Sanksi yang terdapat pada Pasal 126 UU a quo, berlaku bagi angkot yang memberhentikan kendaraan selain di tempat yang telah ditentukan, mengetem, menurunkan penumpang selain di tempat pemberhentian dan/atau di tempat tujuan tanpa alasan yang patut dan mendesak serta bagi angkot yang melewati jaringan jalan selain yang ditentukan dalam izin trayek.

 

Dalam praktik di lapangan, aturan tersebut tidak sepenuhnya diterapkan. Berdasarkan penelusuran hukumonline pada laman instagram Dishub DKI, seorang supir angkot M15 (rute Tanjung Priok dan Stasiun Jakarta Kota) dihukum push up di tengah jalan lantaran ngetem di depan Stasiun Jakarta Kota atau Stasiun Beos.

 

Dalam kasus lain, dua orang supir angkot yang ngetem di sembarang tempat dan menimbulkan kemacetan, dihukum polisi dengan berdiri diatas mobil angkotnya dan memberi hormat saat dihukum di jalan Juanda, Bogor, Rabu (21/2/18).

 

(Baca Juga: Nahas, Motor Milik Hakim Hilang di Halaman Pengadilan)

 

Ketua Komisi Hukum dan Humas Dewan Transporasi Jakarta, Elen Tangkudung, menyebut seluruh transportasi termasuk angkot berdasarkan UU 22/2009  tidak dibenarkan untuk ngetem atau parkir di tempat yang tidak boleh stop atau tempat yang tidak boleh parkir. Jadi semuanya harus mengikuti rambu-rambu jalan yang sudah dipasang dan dijabarkan dalam UU LLAJ.

 

“Jadi di aturan kita semua tempat di pinggir jalan itu tidak boleh dibuat parkir atau stop, kecuali ada tulisan boleh parkir (P biru) atau boleh stop atau di halte,” jelas Elen kepada hukumonline, Kamis (21/6).

 

Adapun soal sanksi yang bisa didapatkan jika tidak mengindahkan rambu-rambu tersebut, kata Elen, memang di UU LLAJ berupa kurungan 1 bulan atau denda paling banyak Rp250,000,-, akan tetapi penegakan sanksi ini tergantung polisi, apakah akan dilakukan penegakan hukum dengan bukti pelanggaran atau penilangan.

 

“Kalau memang angkot itu ditilang jadi ya harus denda,” jelas Elen.

 

Elen juga menyebut hukuman fisik yang disebutkan sebelumnya seperti  push up atau berdiri di atas angkot itu sebetulnya bukan penerapan aturan, melainkan suatu bentuk peringatan oleh aparat dengan maksud memberikan efek jera kepada oknum angkot nakal yang ngetem sembarangan dan mengakibatkan terjadinya kemacetan dan semrawut jalan.

 

“Efek jera itu harus dilakukan agar oknum yang bersangkutan tidak mengulangi lagi perbuatannya,” katanya.

 

Pengamat transportasi Darmaningtyas menyebut seharusnya angkot-angkot tersebut memiliki jadwal keberangkatan yang terkoordinir dengan baik agar memberikan kepastian bagi pengguna dan itu yang harus diatur oleh pemerintah.

 

(Baca Juga: Ingat! Ada Sanksi Bagi Pengendara yang Berteduh di Bawah Flyover Sewaktu Hujan)

 

Pemerintah bisa membenahi penjadwalan tersebut melalui penegakan aturan soal keharusan pengelolaan angkot-angkot oleh satu badan hukum, kata Darma, sebagaimana diamanatkan dalam UU LLAJ. Sayangnya, sambung Darma, masih ada juga angkot yang dioperasikan oleh perorangan bukan badan hukum.

 

“Yang sudah dikelola dalam bentuk badan hukum itu seperti angkot-angkot yang di Bogor, angkot-angkot di Jakarta sebagian seperti mikrolet dan KWK (Koperasi Wahana Kalpika), yang lain masih banyak yang perorangan” terang Darma.

 

Untuk diketahui, sempat diulas dalam klinik hukumonline bertajuk, Hal-hal yang Perlu Disiapkan Jika Ingin Membuka Usaha Angkutan Umum, berdasarkan Pasal 22 ayat (1) dan (2) Permenhub No. 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek, bahwa suatu perusahaan angkutan umum memang harus berbentuk badan hukum Indonesia. Adapun bentuk-bentuk badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud seperti berikut:

  1. Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
  2. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
  3. Perseroan Terbatas (PT); atau
  4. Koperasi

 

Berseberangan dengan Darma, Elen Tangkudung justru menyebut angkot yang tidak bergabung dengan badan hukum tidak bisa mendapatkan izin untuk beroperasi. Jadi walaupun pemilik angkot tersebut adalah orang pribadi, kata Elen, dia tetap harus bergabung dengan koperasi yang sudah ada, seperti KWK dan sebagainya.

 

“Melalui diwajibkannya angkot pribadi untuk bergabung dengan koperasi ini, disitu seharusnya pemerintah bisa mengambil kesempatan untuk masuk dan bekerjasama dengan koperasi tersebut dalam membenahi ketertiban angkot untuk tidak ngetem atau berhenti sembarangan,” tukas Elen.

 

Tags:

Berita Terkait