RUU Ormas, Sebuah Kemubaziran
Berita

RUU Ormas, Sebuah Kemubaziran

Karena sudah diatur dalam peraturan-peraturan lain .

ADY
Bacaan 2 Menit
RUU Ormas, Sebuah Kemubaziran
Hukumonline

Organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam koalisi kebebasan berserikat (KKB) mendesak pemerintah dan DPR menghentikan pembahasan RUU Ormas. Menurut koordinator KKB, Fransisca Fitri, selama dua tahun koalisi melakukan advokasi menolak RUU tersebut, pemerintah dan DPR tetap ngotot ingin mengesahkannya. Padahal, yang melakukan penolakan bukan hanya kalangan LSM, tapi juga ormas besar, serikat pekerja dan akademisi. Serta beberapa lembaga negara independen seperti Komisi Hukum Nasional (KHN) dan Komnas HAM. Bahkan pelapor khusus PBB memberi peringatan akan bahaya RUU Ormas.

Secara garis besar, Fitri menyebut koalisi dan kelompok yang menolak melihat kerangka berpikir RUU Ormas salah. Sehingga, ketika bermacam ketentuan yang ada di dalamnya dibenahi, tidak mengubah pandangan yang sudah salah tersebut. Pasalnya, RUU Ormas lebih cenderung mengatur organisasi yang berbasis massa atau keanggotaan. Padahal, ormas itu terdiri dari dua jenis yaitu berdasarkan keanggotaan dan non anggota.

Selaras dengan itu, ketentuan yang ada dalam RUU Ormas, sudah diatur dalam peraturan lainnya. Seperti UUD RI 1945, UU Yayasan, Staatsblad Perkumpulan dan RUU Perkumpulan, UU KIP, UU Pencucian Uang, UU Tindak Pidana Terorisme dan Pendanaan Terorisme. Serta KUHP, KUHAP dan KUHPerdata. Misalnya, dalam mengelola organisasi masyarakat yang bergerak di bidang sosial dan basisnya non anggota, menurut Fitri sudah diatur jelas dalam UU Yayasan. Jika berdasarkan keanggotaan, sudah diatur dalam Staatsblad Perkumpulan dan RUU Perkumpulan yang sekarang masuk Prolegnas.

Oleh karenanya, Fitri menekankan koalisi melihat RUU Ormas sudah tidak penting lagi untuk dibahas karena sudah termaktub dalam peraturan lain. Sekalipun ada pasal dalam RUU Ormas yang tidak secara langsung bersinggungan dengan peraturan lain, tapi sifatnya hanya berkaitan dengan administratif. Selain itu, RUU Ormas mengandung ketentuan yang rancu. Misalnya, RUU Ormas mengharuskan sebuah ormas memiliki cabang jika melakukan kegiatan di daerah lain. Padahal, tidak sedikit organisasi masyarakat sipil yang berkantor di Jakarta namun kegiatannya mencakup seluruh wilayah Indonesia.

Seperti sebuah organisasi masyarakat yang menyoroti isu korupsi, Fitri melanjutkan, walau berkantor di Jakarta Selatan, namun mereka menyoroti isu korupsi di daerah. Kemudian, ketika RUU Ormas disahkan, maka organisasi yang bersangkutan tidak dapat lagi menjalankan kegiatan di daerah. Merujuk hal itu, Fitri melihat ada kerancuan dalam implementasi RUU Ormas. Mengingat sudah ada peraturan lain yang mencakup ketentuan dalam RUU Ormas maka rancangan peraturan itu sudah tidak layak lagi untuk dibahas. Sekalipun ada yang terlewat, koalisi memilih agar diatur dalam RUU Perkumpulan.

“Sudah tidak ada lagi urgensinya ketika RUU Ormas disandingkan dengan peraturan lain,” kata Fitri dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu(12/6).

Fitri mengatakan, dalih yang digunakan pemerintah dan DPR menggulirkan RUU Ormas untuk mencegah ormas yang kerap melakukan tindak kekerasan dan menjaga transparansi keuangan. Lagi-lagi koalisi menilai kedua alasan itu sudah terjawab dan diatur regulasi lain. Seperti tindak kekerasan, sanksi dapat dijatuhkan lewat ketentuan yang ada di KUHP. Soal transparansi keuangan, Fitri melihat tidak diatur dalam RUU Ormas. Menurutnya hal itu menunjukan sudah ada ketentuan lain yang mengatur tentang transparansi, misalnya UU KIP, UU Yayasan dan Staatblad Perkumpulan.

Tags: