‘RUU Mata Uang Dinilai Terlalu Berpihak ke BI'
Berita

‘RUU Mata Uang Dinilai Terlalu Berpihak ke BI'

Dua pengamat di bidang moneter dari Universitas Indonesia dan Universitas Padjajaran menilai bahwa RUU Mata Uang yang kini tengah di bahas di DPR dan DPD terlalu BI minded.

Lut
Bacaan 2 Menit
‘RUU Mata Uang Dinilai Terlalu Berpihak ke BI'
Hukumonline

 

Soal dominasi BI yang terlalu menonjol itu benar adanya. Bahkan, Rina melihat dan merasakan RUU Mata Uang yang diklaim sebagai inisiatif DPR sangat berpihak ke BI. Saya merasakan RUU ini kok memberikan kewenangan ke BI terlalu monopoli. Bayangkan dari hulu ke hilir. Mulai dari kewenangan mendesain, mencetak, mengedarkan, menarik dan memusnahkan, semuanya diserahkan ke BI. Lantas, peran pemerintah dimana, kok saya tidak melihatnya di RUU ini, ujarnya bersemangat.

 

Dengan kewenangan BI yang terlalu monopoli itu membuat Rina khawatir kalau-kalau pihak BI akan semakin mengabaikan peran pemerintah. Salah satu indikasi yang ditangkap Rina adalah terkait dengan kewenangan BI dalam menarik dan memusnahkan mata uang. Saya melihat, dalam menjalankan kewenangan itu BI tampak jelas semau-maunya. Ini jelas sangat berbahaya, tuturnya.

 

Indikasi lainnya, Rina menangkap dari kewenangan BI dalam mencetak mata uang. Saya melihat dengan adanya kewenangan mencetak itu, jelas BI akan semau-maunya mencetak uang, mau ke Peruri atau ke luar negeri, terserah mereka saja. Dan, ini akan membuat pencetakan uang tidak akan terkontrol dengan baik, ujarnya.

 

Sementara itu, Lana Soelistianingsih, pengamat moneter dari Universitas Indonesia, juga merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan oleh Rina. Bahwa BI terlalu dominan di dalam bidang moneter sehingga terkesan mengabaikan posisi dan peran pemerintah. Dan, menurut Lana, kewenangan ini akan semakin kuat jika RUU Mata Uang ini berhasil digolkan menjadi UU.  

 

Kewenangan BI memang sangat monopoli. Tidak ada yang mengontrol BI, berapa besar uang yang harus dicetak. Semuanya diserahkan ke BI karena BI memiliki fungsi sebagai pengendali moneter. Dari aspek itu memang masuk akal. Hanya saja, karena masalah ini menyangkut masalah kedaulatan mata uang, maka sangat perlu suara pemerintah diberi porsi yang lebih besar, minimal sama dengan BI. Tentu saja lewat RUU Mata Uang ini, tuturnya.

 

Dominasi peran BI ini, kata Lana terlihat dari tiga peran yang dirangkap BI sekaligus. Mulai dari mengendalikan moneter (otoritas moneter), pengaturan dan pengawasan perbankan serta pengaturan sistem pembayaran (mencetak dan mengedarkan mata uang).

 

Padahal, lanjut Lana, di dunia ini hanya tiga negara termasuk Indonesia dimana bank sentralnya merangkap tiga peran tersebut. Dua negara lainnya adalah Malaysia dan Selandia Baru. Tidak semua bank sentral menyatukan ketiga peran itu, terutama peran pengendalian moneter dan pengawasan perbankan, tuturnya.

 

Bahkan, di sebagian negara, pengaturan sistem pembayaran merupakan fungsi yang dimiliki pemerintah. Pemerintah memiliki kewenangan mencetak dan mengedarkan mata uang, tandasnya.

 

Kalau pun nanti hak mencetak mata uang tetap dimiliki BI, Lana memberikan solusi. Pemisahan UU Mata Uang dari UU Bank Sentral harus jelas. Ini penting guna menegaskan kedaulatan kepada mata uang itu sendiri, tandasnya.

 

Hal lainnya, Tentu saja terkait dengan pengaturan atas keuntungan seigniorage dari pencetakan uang baru dan bagaimana seigniorage tersebut dapat bermanfaat bagi masyarakat, tambahnya. Seigniorage adalah selisih antara face value dari uang dengan biaya dari pencetakan uang tersebut. Dan, ini masuk kategori pendapatan.

Keduanya juga sepakat bahwa pemerintah lewat Departemen Keuangan harus diberi peranan yang lebih besar dibanding kewenangan yang dimiliki sekarang. Kalau sekarang, pemerintah atau Depkeu terkesan lepas tangan. Bukan karena pemerintah tidak mau mengontrol, tapi peraturan yang ada menyebabkan kewenangan itu didominasi oleh Bank Indonesia, ujar Rina Indiastuti, pengamat moneter dari Universitas Padjajaran usai diskusi pembahasan RUU Mata Uang di DPD RI di Jakarta, Senin (14/5).

 

Peranan yang dimaksud, lanjut Rina, salah satu yang terpenting adalah kewenangan mengontrol. Apakah uang yang ditarik dan dimusnahkan Bank Indonesia (BI) itu sudah cocok dengan kebutuhan uang di masyarakat ataukah belum. Tentu saja, ini terkait dengan jumlah uang yang beredar di masyarakat.

 

Masalahnya, kewenangan itu sampai sekarang tidak dimiliki oleh Depkeu. Parahnya lagi, Di dalam RUU Mata Uang ini, kewenangan itu sama sekali tidak dicantumkan, tandasnya.

 

Menurut Rina, yang paling mudah untuk memasukkan fungsi kontrol yang akan dimiliki Depkeu adalah dengan mencantumkan tanda tangan Menkeu di mata uang rupiah. Jadi, nantinya akan ada dua tanda tangan, satu dari Gubernur Bank Indonesia dan satunya lagi dari Menkeu.

 

Kedua tanda tangan itu, tambah Rina akan menunjukkan dua fungsi yang berbeda. Tanda tangan Menkeu akan menunjukkan sebagai pihak yang mengontrol sedangkan Gubernur BI sebagai pihak yang mencetak dan mengedarkan mata uang. Yang paling penting, Kedua tangan itu akan menunjukkan kedaulatan mata uang itu sendiri. Sekaligus, keberadaan dua tangan itu akan mengurangi dominasi BI di bidang moneter yang terlalu menonjol, tegasnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: