Digagas sejak 1980-an, terutama oleh ahli hukum Prof. Sudargo Gautama, RUU Hukum Perdata Internasional belum juga disahkan Pemerintah dan DPR. Padahal, sudah beberapa kali digelar sarasehan dan diskusi akademis berkaitan dengan RUU tersebut. RUU ini diharapkan menjadi penopang diplomasi ekonomi, terutama dalam menyelesaikan sengketa-sengketa perdata lintas negara. Mekanisme penyelesaian sengketa yang jelas diyakini mampu meningkatkan kepercayaan investor.
Begitulah tujuan yang ingin dicapai dengan kehadiran RUU HPI. Tetapi jika ditelisik lebih dalam, misalnya dengan membaca Naskah Akademiknya, RUU juga menyinggung perkawinan campuran lintas negara, atau perkawinan antar warga negara yang berlainan. Jadi, substansinya tidak semata-mata menyangkut bisnis internasional dan mekanisme penyelesaian sengketanya. Naskah Akademik RUU HPI menyebutkan bahwa dalam perkawinan, perceraian, naturalisasi, domisili dan kontrak-kontrak masih rentan terjadi penyelundupan hukum.
Sejak dahulu, perkawinan dan perceraian pasangan berbeda kewarganegaraan acapkali menimbulkan persoalan hukum. Sudargo Gautama, dalam bukunya Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, yang juga banyak dikutip dalam Naskah Akademik RUU HPI, memberikan sejumlah contoh klasik. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) berusaha mengantisipasi timbulnya persoalan hukum.
Belum dapat ditelusuri berapa jumlah pasti perkawinan campuran yang dilaksanakan oleh pasangan Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing (WNI-WNA). Satu hal yang pasti, perkawinan mereka dapat dilaksanakan di Indonesia, atau di negara lain yang kemudian didaftarkan di Indonesia.